Bolehkah Menikah di Bulan Suro? Ini Pandangan Pakar Budaya

  
Bolehkah Menikah di Bulan Suro? Ini Pandangan Pakar Budaya

EDA WEB – merupakan bulan pertama dalam penanggalan Jawa yang memiliki makna spiritual yang sangat dalam.

Khususnya tanggal , dianggap sebagai hari yang sakral, penuh dengan nuansa mistis, hening, dan reflektif.

Masyarakat Jawa meyakini malam 1 Suro bukan sekadar pergantian bulan, melainkan jadi momentum penting untuk menyucikan diri, merenung, dan menjaga harmoni dengan alam serta dunia spiritual.

Karena kesakralan itu, ada larangan kuat yang masih dipegang oleh sebagian masyarakat Jawa hingga kini, tidak boleh mengadakan hajatan, terutama pernikahan, maupun kegiatan yang bersifat riuh atau meriah seperti pesta atau keramaian lainnya.

Pada tahun ini, 1 Suro 1959 Jawa sendiri akan jatuh pada Sabtu Legi 28 Juni 2025, berdasarkan penanggalan Jawa.

Meski begitu, dalam tradisi Jawa, malam dianggap sebagai bagian dari hari berikutnya, sehingga malam 1 Suro sudah dimulai sejak matahari terbenam pada Jumat Kliwon 27 Juni 2025.

Lantas, mengapa 1 Suro begitu dijaga kesuciannya? Apa makna filosofis di balik larangan hajatan dalam bulan ini?

Baca juga:

Bolehkah menikah di ?

Guru Besar Ilmu Budaya dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Prof. Dr. Bani Sudardi kepercayaan mengenai dampak negatif jika sebenarnya sangat bergantung pada sugesti dan cara pandang masyarakat itu sendiri.

“Soal dampaknya, itu bisa ada dan bisa tidak. Tapi karena orang sudah percaya, maka akan muncul pandangan-pandangan lain yang mendukung,” ujar Prof. Bani kepada EDA WEB, Senin (16/6/2025).

Ia mencontohkan, ketika ada pasangan yang menikah di bulan Suro lalu mengalami masalah rumah tangga di kemudian hari, maka secara otomatis masyarakat akan mengaitkannya dengan waktu pernikahan tersebut.

“Misalnya, nanti dibilang rumah tangganya tidak sejahtera karena menikah di bulan Suro. Padahal, masalah rumah tangga bisa saja terjadi pada siapa pun dan kapan pun, termasuk yang menikah di bulan Sapar atau Mulud. Tapi karena ini bagian dari kepercayaan, maka interpretasi selalu diarahkan ke situ,” terangnya.

Baca juga:

Sehingga, menurut Prof. Bani, menikah di bulan Suro tidak menjadi masalah, tergantung keyakinan dan cara pandang masyarakat itu sendiri.

Lebih dari sekadar pernikahan, larangan ini juga meluas pada kegiatan lain seperti membangun rumah, menggelar khitanan, atau mengadakan hajatan yang bersifat ramai dan meriah. Semuanya dianggap kurang tepat dilakukan di bulan yang diyakini penuh makna spiritual dan kesakralan tersebut.

Prof. Bani menegaskan bahwa meskipun dampaknya tidak bersifat mutlak, keyakinan ini tetap kuat di kalangan masyarakat karena telah menjadi bagian dari sistem nilai dan cara pandang hidup orang Jawa.

“Yang dikhawatirkan bukan hanya kejadian nyata, tapi juga sugesti yang muncul setelahnya. Dan ketika sudah percaya, maka segala sesuatu akan diarahkan ke situ,” pungkasnya.

Baca juga:

dalam

Prof. Dr. Bani Sudardi, menjelaskan bahwa akar tradisi 1 Suro dalam budaya Jawa tidak lepas dari peran Sultan Agung, penguasa Kesultanan Mataram pada abad ke-17.

Sosok raja besar ini dikenal sebagai pembaharu dalam bidang kebudayaan dan spiritualitas Jawa.

Salah satu warisan penting yang ditinggalkan Sultan Agung adalah integrasi kalender Islam (Hijriah) dengan sistem penanggalan Jawa yang sebelumnya menggunakan kalender Saka dari tradisi Hindu.

Namun, alih-alih menghapus sistem lama, Sultan Agung justru memilih untuk menyesuaikannya.

“Tahun Saka diganti menjadi tahun Islam atau Hijriyah tetapi tetap menggunakan angka tahun Saka,” ujar Prof. Bani.

Kalender Saka sendiri, menurut Prof. Bani, memiliki nilai spiritual tinggi dalam tradisi Hindu.

Tahun barunya, yang dimulai pada tanggal 1 Saka, diperingati sebagai momen menyepi dan perenungan, serupa dengan perayaan Hari Raya Nyepi di Bali.

“Pengaruh nilai spiritual ini juga melekat dalam budaya Jawa yang masih menjunjung tinggi warisan leluhur,” terangnya.

Baca juga:

1 Suro sebagai momentum refleksi

Lebih lanjut, Prof Bani menjelaskan, dalam masyarakat Jawa, malam 1 Suro diperingati dengan penuh keheningan dan kekhusyukan.

Alih-alih menggelar pesta atau keramaian, masyarakat lebih memilih menjalani tirakat, meditasi, atau ritual malam seperti tahlilan, ngalap berkah, ziarah ke makam leluhur, hingga tradisi mengelilingi keraton sambil berdoa dalam diam.

Beberapa orang bahkan melakukan ritual batin di pantai selatan sebagai bentuk penghormatan terhadap kekuatan alam dan spiritual yang diyakini hadir pada malam itu.

Sultan Agung juga mengganti nama bulan Muharam dalam kalender Islam menjadi Suro dalam kalender Jawa.

“Sultan Agung juga melakukan penyesuaian nama dalam kalender Islam versi Jawa. Bulan Muharam diubah menjadi Suro ,” jelas Prof. Bani.

Baca juga:

Namun, dalam tradisi Jawa, istilah Suro memiliki makna lain yang lebih kompleks. Meskipun Muharam dikenal dalam Islam sebagai bulan suci dan tanggal 10-nya (Asyura) dianggap penuh berkah, masyarakat Jawa justru mengaitkan Suro dengan unsur mistis.

“Bulannya para makhluk-makhluk yang berbahaya,” tambah Prof. Bani, merujuk pada kepercayaan lokal bahwa bulan ini dihuni oleh kekuatan gaib yang bisa mengganggu manusia jika tidak dihormati.

Karena itu, masyarakat Jawa menghindari mengadakan hajatan besar seperti pernikahan atau pesta pada bulan Suro .

Ini bukan sekadar pantangan, tetapi bagian dari kearifan lokal untuk menjaga keseimbangan batin dan menghormati nilai-nilai spiritual yang diyakini turun-temurun.

Senada, menurut sosiolog Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Drajat Tri Kartono, larangan tersebut tidak berasal dari ajaran agama, melainkan murni bagian dari tradisi turun-temurun.

“Kalau kita lihat dalam berbagai literatur, larangan itu bukan hukum agama, melainkan tradisi. Artinya, kebiasaan yang diwariskan secara turun-temurun,” jelas Drajat kepada EDA WEB saat dihubungi secara terpisah, Senin (16/6/2025).

Menurutnya, bulan Suro dalam budaya Jawa diyakini sebagai waktu yang sakral untuk melakukan perenungan dan penyucian diri, bukan untuk bersuka cita.

“Bulan ini dianggap sebagai waktu refleksi terhadap kehidupan dalam setahun ke belakang. Di Jawa, ini juga dikenal sebagai bulan penyucian, di mana berbagai pusaka dibersihkan dan tidak dipakai dulu. Bahkan ada yang dipamerkan dalam prosesi tertentu,” tambahnya.

Baca juga:

1 Suro bentuk tindakan rasional nilai

Lebih jauh, Drajat menjelaskan bahwa secara sosiologis, tindakan masyarakat terkait larangan tersebut masuk dalam kategori tindakan rasional nilai, bukan rasional instrumental.

“Dalam sosiologi, kita mengenal dua jenis tindakan rasional: rasional instrumental dan rasional nilai. Tradisi 1 Suro ini jelas termasuk tindakan berdasarkan nilai yaitu penghormatan terhadap waktu yang dianggap sakral,” paparnya.

Menurut Drajat, berdasarkan berbagai literatur, 1 Suro juga berkaitan dengan peristiwa Karbala, yakni perang yang menyebabkan wafatnya cucu Nabi Muhammad SAW, Imam Husain, di bulan Muharam.

“Memang ada yang mengaitkan bulan ini dengan peristiwa Karbala, tapi secara langsung tidak ada hubungan antara peristiwa itu dengan larangan pernikahan. Yang lebih dominan adalah nilai-nilai budaya dan spiritualitas lokal,” tegasnya.

Dengan demikian, menurut Drajat, tradisi tidak menggelar pernikahan atau keramaian di bulan Suro lebih sebagai bentuk penghormatan terhadap waktu yang diyakini penuh makna, bukan karena alasan religius formal.

“Ini adalah ekspresi budaya yang lebih menekankan pada penghayatan, bukan larangan mutlak. Masyarakat Jawa menjalaninya sebagai bagian dari kesadaran kolektif yang diwariskan,” tutupnya.

Baca juga:

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita EDA WEB WhatsApp Channel : . Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Sumber : Kompas