Bos Schneider Ungkap Ironi AI, Boros Listrik tapi Bisa Jadi Solusi Hijau

  
Bos Schneider Ungkap Ironi AI

TAIPEI, EDA WEB – (artificial intelligence/) selama ini dikenal sebagai teknologi yang haus daya.

Dari pelatihan model AI generatif seperti ChatGPT hingga pengolahan data di raksasa, semuanya memerlukan listrik dalam jumlah besar.

Namun, di balik fakta tersebut, ada satu ironi, yakni AI bisa menjadi alat untuk menyelesaikan masalah energi, bukan hanya menjadi bagian dari masalah itu sendiri.

Setidaknya begitulah menurut Pankaj Sharma, Executive Vice President Secure Power Division Electric, dalam sesi keynote di pameran teknologi Computex 2025 di Taipei, Taiwan.

“AI tidak hanya memakan listrik, tapi juga bisa membantu kita menghematnya,” kata Sharma di Taipei Nangang Exhibition, Rabu (21/5/2025), seperti dilaporkan jurnalis EDA WEB Galuh Putri Riyanto.

Baca juga:

AI = Boros Listrik?

Tak bisa dimungkiri, pertumbuhan pesat AI membuat konsumsi energi pusat data () melonjak drastis.

Per April 2024, IEA (International Energy Agency) memperkirakan bahwa pusat data yang AI-ready akan menggunakan 945 terawatt-hours (TWh) pada 2030. Angka ini kira-kira setara dengan konsumsi listrik tahunan Jepang saat ini.

Sebagai perbandingan, pusat data mengkonsumsi 415 TWh pada 2024, sekitar 1,5 persen dari total konsumsi listrik dunia.

Baca juga:

IEA sendiri adalah organisasi internasional yang berfokus pada energi yang berkelanjutan, terjangkau, dan aman.

Sementara, menurut Sharma, di era booming AI sekarang, beban daya per rak di pusat data AI bisa mencapai 1 megawatt atau setara dengan memberi daya sekitar 800 hingga 1.000 rumah rata-rata di AS selama setahun, dengan asumsi rata-rata rumah tangga mengkonsumsi sekitar 1.200 kWh per bulan.

Angka kebutuhan energi untuk data center AI ini naik puluhan kali lipat dari standar lama yang berkisar 15 kilowatt hingga 20 kilowatt per rak.

Baca juga:

Jumlah rak di pusat data sangat bervariasi tergantung pada ukuran dan kapasitas fasilitas. biasa mungkin memiliki ratusan atau bahkan ribuan rak, sedangkan fasilitas yang lebih kecil hanya bisa memiliki beberapa rak.

Ledakan AI ini menciptakan kekhawatiran global, mengingat sebagian besar data center masih bergantung pada sumber listrik konvensional. Jika tidak dikelola dengan baik, adopsi AI bisa memperburuk jejak karbon sektor digital.

Jejak karbon atau carbon footprint sendiri adalah jumlah emisi karbon dioksida (CO2) yang dihasilkan dari seluruh aktivitas seseorang atau entitas lain, termasuk gedung, perusahaan, negara, penyedia layanan digital, dan lainnya.

Hal ini menjadi perhatian tersendiri mengingat carbon footprint berdampak negatif pada lingkungan, termasuk berkontribusi pada terjadinya perubahan iklim di bumi. Alhasil, kini banyak perusahaan, termasuk di teknologi punya cita-cita mencapai net-zero emission (nol-karbon) setidaknya dalam 10 tahun ke depan.

Baca juga:

AI justru bisa jadi solusi

Namun, Sharma menekankan bahwa AI bukan semata-mata beban. Jika dimanfaatkan dengan tepat, AI justru bisa menjadi alat penting untuk mengurangi konsumsi energi di banyak sektor, termasuk di dalam pusat data itu sendiri.

Ia membagikan contoh dari salah satu pelanggan Schneider, yang memanfaatkan AI untuk mengelola sistem HVAC (Heating, Ventilation, and Air Conditioning) secara otomatis.

“Dengan menerapkan AI dan model pembelajaran mesin, pelanggan kami berhasil mengurangi konsumsi listrik hingga 9 persen. Ini bukan hanya penghematan finansial, tapi juga kontribusi nyata terhadap dekarbonisasi,” kata Sharma.

Konsep ini dikenal sebagai “AI for Energy”, berlawanan dari narasi umum “Energy for AI” yang hanya menekankan sisi konsumsi. Menurut Sharma, keduanya harus berjalan seimbang.

Baca juga:

ramah lingkungan

Tak hanya bicara soal efisiensi di luar, Schneider juga tengah membangun solusi infrastruktur data center yang AI-ready dan berkelanjutan. Artinya, bukan hanya sanggup menangani beban komputasi berat dari AI, tapi juga dibangun dengan prinsip hemat energi dan ramah lingkungan.

Misalnya, Schneider punya portofolio teknologi EcoStruxure , termasuk intelligent power monitoring, sistem distribusi daya modular, dan software berbasis AI untuk prediksi konsumsi serta optimalisasi beban.

Teknologi ini diklaim mampu meningkatkan efisiensi energi secara menyeluruh hingga 20-30 persen dibanding desain konvensional, sekaligus mengurangi total cost of ownership (TCO) dan emisi karbon.

Baca juga:

: solusi masa depan pusat data AI

Salah satu teknologi yang juga paling disorot Sharma dalam sesi keynote-nya adalah atau sistem pendinginan cair. Inovasi penting yang dipamerkan Schneider ini disebut menjadi solusi ideal untuk server AI yang menghasilkan panas ekstrem.

Selama ini, pusat data mendinginkan server menggunakan pendingin udara, mirip seperti AC. Namun, di era AI, kata Sharma, udara tidak lagi cukup.

Baca juga:

“Air sudah tidak cukup. Beban komputasi AI terlalu besar untuk didinginkan dengan udara saja,” ujar Sharma.

Teknologi liquid cooling ini menggunakan cairan khusus yang langsung menyentuh bagian terpanas dari komputer, seperti prosesor dan chip AI, untuk mendinginkannya secara cepat.

Solusi liquid cooling dari Schneider ini bukan hanya meningkatkan efisiensi pendinginan, tapi juga diklaim dapat mengurangi konsumsi energi hingga 30 persen dan emisi karbon. Ini menjadikannya komponen penting dari pusat data yang ramah lingkungan di era ledakan AI.

Untuk menghadirkan liquid cooling untuk data center AI, Schneider mengakuisisi perusahaan Amerika Serikat bernama Motivair pada Maret lalu. Motivair ini sudah berpengalaman selama lebih dari satu dekade dalam menerapkan teknologi pendinginan cair untuk superkomputer.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita EDA WEB WhatsApp Channel : . Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Sumber : Kompas