DEN Minim Perempuan, Kebijakan Energi Bisa Luput dari Kebutuhan Nyata

  
DEN Minim Perempuan

EDA WEB — Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia, Mikewati Vera Tangka, menyoroti minimnya perempuan dalam keanggotaan Dewan Energi Nasional (DEN).

Mike menyebut, saat ini hanya ada 1 perempuan dari total 8 anggota DEN. Itu pun bukan hasil dari seluruh rangkaian seleksi, melainkan menggantikan posisi salah satu anggota laki-laki yang mengundurkan diri.

“Hal ini menyebabkan adanya ketimpangan dalam pengambilan kebijakan untuk transisi energi, padahal perempuan memiliki kebutuhan tersendiri dalam penggunaan energi bersih,” ujar Mike dalam acara Publish What You Pay (PWYP) Indonesia bertajuk ‘Dialog Media: Mendorong Transparansi dan Inklusi dalam Seleksi Anggota Dewan Energi Nasional untuk Transisi Energi yang Berkeadilan’, Jumat (20/6/2025).

Mike menegaskan, perempuan bukan hanya pengguna energi, tetapi juga aktor dalam proses transisi. Mereka memiliki gagasan dan pengalaman langsung tentang bagaimana seharusnya transisi energi dilakukan agar mampu mengakomodasi kebutuhan dalam kehidupan sehari-hari.

Baca juga:

“Bayangkan, di Kepulauan Seribu listrik hanya nyala 12 jam saja. Siapa yang muter cari cara agar semua kebutuhan terpenuhi? Ujung-ujungnya perempuan,” ujarnya.

Di daerah yang pasokan energinya terbatas, lanjut Mike, perempuan berperan aktif memastikan terpenuhinya kebutuhan energi dengan energi-energi alternatif untuk memasak dan penerangan.

Perempuan cenderung mengambil keputusan secara menyeluruh agar kebutuhan orang-orang di sekitarnya terpenuhi.

Baca juga:

“Laki-laki dan perempuan memiliki pengalaman yang berbeda. Itu juga yang membedakan mereka dalam mengambil keputusan,” katanya.

Karenanya, jika semua anggota Dewan Energi adalah laki-laki, Mike menilai sangat mungkin terjadi ketidakadilan dalam pengambilan keputusan terkait transisi energi.

Ia mencontohkan, jika terjadi krisis energi yang berdampak pada ketersediaan air, laki-laki mungkin menganggapnya bukan masalah mendesak karena hanya tidak bisa mandi. Tapi bagi perempuan yang membutuhkan air dari bangun tidur hingga tidur lagi untuk kebutuhan rumah, situasi itu bisa dianggap darurat.

Selain itu, Mike juga mencontohkan tentang Mama yang di daerah Timur yang lebih handal mengelola panel surya untuk memenuhi kebutuhan energi mereka. Menurut, Mike itu terjadi karena Mama-Mama ini yang terdampak tak adanya listrik dalam waktu lama untuk memastikan terpenuhinya kebutuhan anggota keluarganya.

“Begitu juga dalam pengambilan keputusan untuk transisi energi. Bisa jadi satu sektor dalam transisi energi tidak mendesak bagi laki-laki, tapi sangat mendesak bagi perempuan,” jelas Mike. “Lantas bagaimana suara-suara ini akan terdengar jika di Dewan Energi Nasional tidak ada keterwakilan perempuan?”

Baca juga:

Mike menekankan pentingnya prinsip afirmasi 30 persen dalam politik. Dalam konteks DEN yang beranggotakan 8 orang, idealnya terdapat 2 hingga 3 perempuan agar representasinya terwujud.

“Enggak ada perempuan yang daftar, enggak boleh pasrah. Tapi ditanya, diajak, direkomendasikan calon-calon potensial, terutama yang memiliki track record di bidang transisi energi,” kata Mike.

Upaya ini, menurutnya, penting untuk memastikan tata kelola energi Indonesia menjadi lebih inklusif. Ketidakhadiran perempuan dalam DEN berpotensi menciptakan ketimpangan dalam pengambilan keputusan dan menyebabkan kebijakan energi tidak mampu mengakomodasi seluruh kebutuhan masyarakat, khususnya aspek-aspek mikro yang lebih dipahami oleh perempuan.

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik .

Sumber : Kompas