JPPI: SPMB 2025 Masih Diskriminatif

  
JPPI: SPMB 2025 Masih Diskriminatif

EDA WEB – Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia () menilai, (SPMB) 2025 masih diskriminatif.

Menurut Koordinator Nasional (Koornas) JPPI Ubaid Matraji, belum sepenuhnya memenuhi prinsip perlindungan hak semua anak atas pendidikan.

“JPPI menemukan ada 3 masalah sistemik yang tercermin dalam Permendikdasmen Nomor 3 Tahun 2025 tentang SPMB. Inilah yang membuat SPMB tahun ini kembali ricuh,” kata Ubaid dikutip dari keterangan tertulis, Senin (23/6/2025).

Ubaid mengatakan, SPMB 2025 masih terjebak dalam masalah klasik, yaitu perebutan kursi di negeri, tanpa memberikan solusi komprehensif bagi mayoritas anak yang tidak tertampung.

Baca juga:

Ada potensi tingginya angka putus sekolah

Hal itu, kata Ubaid telah membuka pintu masuk kasus jual beli kursi, pungli (pungutan liar), dan manipulasi yang sudah diberantas.

“Ada permintaan (masuk sekolah negeri) yang sangat tinggi (demand), sementara penyediaan (supply sekolah) yang sangat minim,” ujarnya.

Ubaid mencontohkan, rata-rata daya tampung SMA Negeri di berbagai provinsi hanya sekitar 30 persen, oleh karena itu, mestinya pemerintah fokus ke 70 persen anak yang tidak tertampung.

Baca juga:

Kondisi ini berpotensi mengakibatkan tingginya angka putus sekolah di jenjang SMA dan rendahnya angka partisipasi sekolah.

“Daripada hiruk-pikuk ribut urus 30 persen saja? Bagaimana nasib 70 persen anak yang tidak tertampung ini?” tambah Ubaid.

Masalah lainnya, lanjut Ubaid adalah, pelaksanaan jalur domisili yang sangat membingungkan dan tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengan (Permendikdasmen) Nomor 3 Tahun 2025.

Baca juga:

Ubaid mencontohkan kembali, pada jalur domisili tingkat SMA, yang menjadi ukuran adalah kemampuan akademik, bukan jarak tempat tinggal ke sekolah dan tertuang di Pasal 43 Permendikdasmen Nomor 3 Tahun 2025.

Lalu ada lagi keanehan pada jalur afirmasi yang ternyata mengukur jarak dan tertuang pada Pasal 44, sementara jalur domisili jenjang SD yang diukur malah usia dan tertuang pada Pasal 43.

“Pusing bukan? Saya yang mengikuti tiap tahun saja pusing, apalagi orangtua,” kata Ubaid Matraji.

Baca juga:

Tidak hanya itu, Ubaid juga menyoroti ketidakpatuhan terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai tafsir Pasal 34 Ayat 2 Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) terkait sekolah tanpa dipungut biaya di jenjang SD dan SMP.

Padahal, menurut Ubaid, SPMB 2025 mestinya mengatur skema pembiayaan ‘full gratis’ bagi calon murid yang tidak lolos di sekolah negeri dan akhirnya masuk ke sekolah swasta.

Namun, aturan SPMB 2025 hanya menyinggung pemerintah daerah dapat memberikan bantuan pendidikan yang dinilai Ubaid menunjukkan rendahnya kemauan politik pemerintah dalam melindungi hak anak atas pendidikan.

“Kalau sekadar memberikan bantuan, periode lalu juga sudah, dan itu jelas dianggap inkonstitusional oleh MK, jadi harus dibiayai total kebutuhannya bukan sekadar bantuan parsial,” ungkapnya.

Baca juga:

“Berdasarkan UUD 1945 Ayat 2, kewajiban pemerintah adalah membiayai (full cover), bukan hanya memberikan bantuan, sehingga amanat Pasal 34 Ayat 2 UU Sisdiknas pada frasa ‘tanpa dipungut biaya’ dapat benar-benar ditunaikan,” ucap Ubaid.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita EDA WEB WhatsApp Channel : . Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Sumber : Kompas