Kerja Sama Internasional Melawan Kejahatan Siber

  
Kerja Sama Internasional Melawan Kejahatan Siber

KEJAHATAN siber memiliki karakteristik melintasi ruang dan yurisdiksi. Pelaku bisa melakukan modusnya dari belahan dunia mana saja.

Secara yurisdiksi, kejahatan ini juga berdimensi lintas teritorial, menembus batas-batas kedaulatan negara.

Untuk menghadapinya, negara tak mungkin melakukannya sendirian. Kerja sama internasional adalah kunci keberhasilannya.

Laporan World Economic Forum “The cyber threats to watch in 2025, and other cybersecurity news to know this month” (21/03/ 2025) menyatakan ancaman siber pada 2025 akan dibentuk oleh serangan yang semakin canggih, dengan ransomware, rekayasa sosial, dan kejahatan dunia maya bertenaga AI tetap menjadi perhatian utama.

Laporan Forum Ekonomi Dunia itu menyatakan pada 2024, terjadi 3.158 pelanggaran data. Jumlah korban melonjak 211 persen menjadi 1,3 miliar kasus.

Menghadapi fenomena global ini, akhirnya Perserikatan Bangsa-Bangsa, melalui Majelis Umum telah mengadopsi Konvensi dengan suara bulat melalui konsensus.

The UN Convention Against Cybercrime, yang diadopsi pada 24 Desember 2024, adalah perjanjian internasional yang menjadi dasar hukum untuk mencegah dan memerangi secara global.

Baca juga:

Istimewanya, konvensi ini adalah perjanjian global komprehensif pertama yang menjadi instrumen hukum internasional tentang kejahatan siber yang dihasilkan PBB.

Konvensi tak hanya menjadi landasan hukum kerja sama internasional, tetapi juga memfasilitasi bantuan teknis bagi negara-negara anggotanya (contracting states).

Ratifikasi

Konvensi internasional hanya akan mengikat bagi negara jika telah melakukan ratifikasi. Ratifikasi adalah prasyarat hukum internasional keikutsertaan negara dalam perjanjian internasional.

Banyak referensi tentang proses keikutsertaan dalam konvensi internasional. Salah satunya yang dipublikasikan oleh Kementerian Luar Negeri Belanda dengan judul “The difference between signing and ratification”.

Dijelaskan bahwa sejumlah langkah perlu diambil sebelum perjanjian mulai berlaku. Intinya naskah yang telah disepakati akan ditandatangani.

Dengan menandatangani perjanjian, negara menyatakan niat untuk mematuhi perjanjian tersebut.

Langkah berikutnya adalah persetujuan oleh negara pascaperjanjian ditandatangani berupa ratifikasi sesuai dengan prosedur nasionalnya masing-masing.

Negara yang melakukan ratifikasi akan memberitahukan bahwa setuju untuk terikat pada perjanjian tersebut. Dengan ratifikasi ini, maka perjanjian secara resmi mengikat negara tersebut sebagai hukum.

Terkait dengan The UN Convention Against Cybercrime, PBB menggarisbawahi bahwa ratifikasi merupakan langkah penting di mana negara-negara melaksanakan apa yang mereka katakan.

PBB juga menekankan bahwa dengan mendapatkan persetujuan internal, maka penting untuk memastikan hukum domestik negara peratifikasi selaras dengan persyaratan konvensi.

Konvensi ini hanya akan berlaku setelah diratifikasi setidaknya oleh 40 Negara Anggota PBB untuk menjadi hukum internasional.

Setelah negara ke-40 meratifikasi, dibutuhkan waktu 90 hari lagi agar konvensi tersebut mengikat secara hukum bagi semua pihak yang telah bergabung.

Indonesia, meskipun dari awal ikut serta secara aktif dalam proses pembahasan konvensi, tidak akan terikat pada konvensi jika tak melakukan tindakan penandatangan dan ratifikasi. Oleh karena itu, dua hal tersebut harus menjadi prioritas.

Tak hanya sampai di situ, mengingat konvensi ini lekat dan bersinggungan dengan hal-hal yang sifatnya teknis, maka regulasi implementasinya juga harus dibuat dan disesuiakan, termasuk UU yang terkait dengan Keamanan dan Ketahanan Siber (KKS).

UU eksisting seperti UU ITE, dan norma-norma KUHP baru tentang kejahatan siber, juga perlu dikaji ulang dan dikomparasi dengan materi muatan konvensi.

Penelitian hukum seperti ini diperlukan agar Indonesia bisa mendapatkan fasilitas berdasarkan konvensi, dalam menangani kejahatan siber lintas teritorial.

Isi Konvensi

Dalam siaran resminya “Basic facts about the global cybercrime treaty” PBB menyatakan, pada tahun 2024, lebih dari 60 persen populasi global terhubung ke internet, saat dunia digital berkembang pesat.

Konektivitas yang belum pernah terjadi sebelumnya ini, menghadirkan peluang besar, tetapi juga meningkatkan risiko keamanan siber. Ancaman dapat berkembang seiring kemajuan teknologi.

Laporan PBB menyebut, meningkatnya biaya kejahatan siber, yang diperkirakan mencapai triliunan dollar setiap tahunnya. Hal ini menunjukan pentingnya upaya internasional yang terkoordinasi melalui konvensi ini.

PBB mendefinisikan kejahatan siber mencakup berbagai macam pelanggaran yang terbagi kedalam dua kategori besar.

Pertama, kejahatan yang mencakup kegiatan kriminal tradisional tetapi dilakukan secara daring, seperti perdagangan manusia, penipuan, dan hasutan untuk melakukan kekerasan dan kebencian.

Kedua, kejahatan yang dilakukan melalui penggunaan perangkat teknologi informasi dan komunikasi (TIK), seperti phishing, pencurian identitas, dan penyebaran malware dan ransomware.

Baca juga:

Pelaku kejahatan siber meliputi penjahat perorangan hingga jaringan terorganisasi, semuanya mengeksploitasi anonimitas dan aksesibilitas dunia digital.

Kejahatan tersebut melampaui batas geografis, menargetkan sistem, jaringan, dan individu dengan kecepatan dan efisiensi yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Kejahatan dapat berkisar mulai pelanggaran keamanan nasional berskala besar, seperti serangan Distributed Denial-of-Service (DDoS) spionase hingga pelecehan yang ditargetkan terhadap kelompok-kelompok yang terpinggirkan, termasuk ujaran kebencian, pelanggaran privasi, dan kampanye disinformasi.

Pelapor Khusus PBB untuk Masalah Minoritas melaporkan bahwa 70 persen atau lebih kejahatan kebencian di media sosial, menargetkan kaum minoritas. Angkanya terus meningkat.

Negara-negara berkembang, yang sering kali kekurangan infrastruktur keamanan siber yang kuat, rentan terhadap serangan siber.

Keterbatasan kesadaran akan risiko siber dan sumber daya yang tidak memadai, membuat orang-orang di wilayah ini menjadi sasaran empuk kejahatan seperti phishing, pencurian identitas, dan mis-informasi.

AI dan Keamanan Siber

Pada saat yang sama, teknologi baru Akal Imitasi (AI) dan serangan deep fake menimbulkan tantangan baru.

Laporan PBB menyebut, meningkatnya AI generatif juga menimbulkan masalah rumit terkait undang-undang hak cipta, karena konten yang dihasilkan AI menantang gagasan tradisional tentang kepengarangan dan kekayaan intelektual.

PBB menggarisbawahi keamanan siber merujuk pada strategi, kebijakan, prosedur, praktik, dan tindakan yang dirancang untuk mengidentifikasi ancaman dan kerentanan, mencegah ancaman mengeksploitasi kerentanan, mengurangi kerugian yang disebabkan oleh ancaman yang terwujud, dan melindungi orang, properti, serta informasi.

Dalam istilah yang lebih sederhana, keamanan siber berfungsi sebagai benteng digital yang melindungi individu dan organisasi dari serangan yang berusaha mengeksploitasi kehadiran daring mereka.

Langkah-langkah keamanan dan ketahanan siber bertujuan melindungi data individu dan organisasi, dengan fokus pada pencegahan pelanggaran, pendeteksian ancaman, respons yang efektif, dan pemulihan dari insiden siber.

Dalam dunia yang semakin terhubung, strategi keamanan dan ketahanan siber yang baik sangat penting untuk menjaga privasi, kepercayaan, dan keamanan.

ini memperkuat kerja sama Internasional untuk memerangi kejahatan yang dilakukan melalui sistem digital.

Berbasis Konvensi, tanggapan terhadap kejahatan siber diharapkan lebih cepat, lebih terkoordinasi, dan lebih efektif, sehingga dunia digital dan fisik menjadi lebih aman.

Konvensi ini menciptakan kerangka kerja dan platform global yang belum pernah ada sebelumnya. Targetnya untuk kolaborasi sambil menjaga hak asasi manusia, memastikan ruang digital global dilindungi, inklusif, dan dapat beradaptasi terhadap ancaman yang muncul.

Konvensi ini pun memprioritaskan inklusivitas dan kesetaraan dengan menawarkan dukungan penting untuk membangun kapasitas bagi negara-negara dengan sumber daya terbatas.

Baca juga:

Insrumen hukum internasional ini mengakui bahwa keamanan siber bukan sekadar masalah teknis, tetapi juga keniscayaan hak asasi manusia untuk menjamin pelindungan masyarakat terpinggirkan dan menjaga kebebasan fundamental di era digital.

Konvensi ini merupakan solusi multilateral terhadap ancaman kejahatan siber yang semakin meningkat, sekaligus memfasilitasi kerja sama sepanjang waktu.

Konvensi juga bertujuan melindungi individu rentan seperti anak-anak dan perempuan lemah dari eksploitasi daring yang marak saat ini.

Hal yang perlu menjadi perhatian semua negara adalah, konvensi menekankan perlunya investasi untuk mengelola risiko dan ancaman siber dengan lebih baik.

Kita perlu menjadikan ratifikasi konvensi ini sebagai prioritas legislasi nasional. Proses terkait hal ini, termasuk penelitian hukum dampak konvensi terhadap berbagai perundang-undangan eksisting perlu segera dilakukan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita EDA WEB WhatsApp Channel : . Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Sumber : Kompas