
JAKARTA, EDA WEB – Ilmuwan senior CIFOR-ICRAF sekaligus Guru Besar IPB University, Herry Purnomo, menilai bahwa ketidaktegasan pemerintah dan penegakan hukum yang tidak jelas menjadi pemicu di (TNTN), Riau.
Dari total sekitar 80.000 hektare lahan TNTN, sebagian besarnya dibuka untuk perkebunan kelapa dan permukiman warga.
“Iya, itu ada ketidaktegasan. Dulu itu (luas) 38.000 Tesso Nilo, kemudian diperluas. Begitu diperluas, di dalamnya tiba-tiba ada permukiman walaupun itu kawasan hutan,” kata Herry saat dihubungi, Senin (23/6/2025).
Dia mengakui bahwa persoalan permukiman dan kebun kelapa sawit di TNTN sangat kompleks. Di dalam kawasan ini juga hidup kawanan gajah yang kian berkurang jumlahnya.
Baca juga:
“Walaupun Taman Nasional itu agak rumit dan tidak bisa dilepas, tetapi dengan Undang-Undang Cipta Kerja ada caranya,” jelas Herry.
“Kalau Kementerian Kehutanan setuju ya, ada yang harus dipertahankan lalu yang rusak dikembalikan jadi hutan, dengan skema perhutanan sosial,” imbuh dia.
Dia mengusulkan, agar pemerintah tetap menjadikan seluruh lahan TNTN sebagai hutan. Namun, apabila sejumlah lahan akan diberikan kepada warga perlu ada pembatasan yang jelas antara Taman Nasional dengan permukiman.
Tantangan lainnya ialah konflik horizontal yang bisa muncul di antara warga lokal dengan pendatang terkait permasalahan surat tanah. Selain itu, kepemilikan tanah yang dikuasai pihak tertentu tanpa izin.
Baca juga:
“Kalau milik rakyat yang memang butuh lahan ini kan perlu fasilitasi ya. Jadi tidak hanya peta kerusakan, tetapi peta sosialnya juga harus jelas itu kan enggak mudah,” tutur Herry.
Diberitakan sebelumnya, Kementerian Kehutanan () mencatat lahan seluas 40.000 hektare kawasan Hutan TNTN telah dibuka lalu ditanami sawit secara ilegal.
Direktur Jenderal Penegakan Hukum Kemenhut, Dwi Januanto Nugroho, menyatakan pemerintah akan memulihkan kawasan hutan tersebut melalui skema rehabilitasi berbasis padat karya, restorasi ekosistem, serta penegakan hukum secara menyeluruh.
“TNTN menjadi target strategis Presiden dalam program pemulihan kawasan hutan, yang hasil awalnya akan diumumkan pada 17 Agustus 2025. Kami didukung oleh seluruh elemen, termasuk eselon I Kemenhut, untuk merehabilitasi kawasan hutan dengan pendekatan komprehensif dan humanis,” ucap Dwi dalam keterangannya, Jumat (20/6/2025).
Sementara itu, Komandan Satgas Garuda menuturkan kondisi TNTN saat ini sangat memprihatinkan. Pihaknya melaporkan, populasi gajah makin menurun ditambah degradasi kawasan karena aktivitas ilegal para pendatang dalam 20 tahun terakhir. Dari sekitar 15.000 jiwa yang tinggal di kawasan TNTN, hanya 10 persen yang merupakan penduduk asli.
Baca juga:
Sejauh ini pihaknya telah menempatkan 380 personel di 13 titik, memasang portal, membangun pos penjagaan, dan memulai proses pengosongan wilayah secara persuasif. Beberapa penduduk juga mulai meninggalkan kawasan TNTN secara sukarela. Satgas mencatat 1.805 sertifikat hak milik (SHM) yang tengah diverifikasi Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik .
Sumber : Kompas