
KATA “reformasi” kini mengalami inflasi makna. Ia menjadi jargon normatif yang dipajang dalam presentasi, diselipkan dalam naskah pidato, dan didengungkan dalam dokumen perencanaan strategis.
Reformasi birokrasi yang sejatinya adalah upaya sistematis untuk membenahi tata kelola pemerintahan, kini terjebak dalam praktik seremonial dan simbolik, lebih terpaku dalam hal-hal yang sifatnya populis dan berkutat pada wacana.
Jargon “Reformasi Birokrasi Berdampak Kesejahteraan Masyarakat” seolah menjadi mantra sakti yang kerap terdengar di berbagai forum birokrasi, dari ruang-ruang rapat kementerian, rapat Pemda, hingga spanduk pelatihan ASN.
Namun, di balik retorika itu, publik patut bertanya: kesejahteraan masyarakat yang dimaksud mencakup siapa? Apakah seluruh rakyat atau segelintir kelompok elite birokrasi?
Pada peringatan Hari Kebangkitan Nasional sekaligus Sarasehan Perubahan Geopolitik Dunia – BPIP & MPR RI yang dilaksanakan di Gedung Nusantara IV DPR RI, 20 Mei 2025, saya sempat bertanya kepada beberapa kepala daerah bagaimana efektivitas daerah menghadapi efisiensi anggaran, serta kinerja ASN dalam menyelenggarakan layanan publik.
Baca juga:
Beberapa di antaranya menjawab bahwa saat ini persoalan efisiensi anggaran masih menjadi masalah yang mengakibatkan “stagnasi dan leletnya” pelayanan publik. Salah satu kepala daerah melontarkan bahwa saat ini produktivitas ASN jauh menurun dari tahun sebelumnya.
Maka, opini saya di EDA WEB berjudul: “,” semakin menunjukkan realita bahwa kebijakan efisiensi anggaran yang ditetapkan dan sulitnya daerah beradaptasi akhirnya mengakibatkan terlambatnya belanja daerah yang berujung pada pelemahan daya beli masyarakat.
Wacana revisi Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) belakangan ini menjadi titik kritis dalam menilai arah reformasi birokrasi kita.
Alih-alih menjadi momentum untuk memperkuat meritokrasi, efisiensi, dan akuntabilitas publik, yang terjadi justru sebaliknya: ruang revisi disulap menjadi peluang untuk mengakomodasi kepentingan segmen tertentu dalam birokrasi.
Pertimbangan usulan
Baru-baru ini, Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri) mengirim surat kepada Presiden Prabowo Subianto dalam hal penguatan ASN.
Singkatnya, surat tersebut berisi respons dan aspirasi dari ASN maupun Korpri provinsi/kabupaten/kota yang mengajukan usulan penguatan ASN sebagai mesin birokrasi untuk mewujudkan Asta Cita.
Adapun isinya yang menjadi pertanyaan adalah usulan soal perpanjangan masa jabatan, mulai dari jabatan manajerial, yaitu pejabat tinggi utama yang semula 6O tahun menjadi 65 tahun; pejabat pimpinan tinggi madya yang semula 6O tahun menjadi 63 tahun; pejabat pimpinan tinggi pratama yang semula 6O tahun jadi 62 tahun; pejabat administrator dan pejabat pengawas yang semula 58 tahun menjadi 60 tahun, hingga perpanjangan jabatan nonmanajerial.
Baca juga:
Bayangkan, isinya diklaim sebagai penguatan ASN dan dijustifikasi demi “Asta Cita”, tapi semua yang dijabarkan soal perpanjangan masa jabatan.
Kini muncul pertanyaan, sebenarnya usulan ini mewakili seluruh ASN atau “terselubung” kepentingan dari Pimpinan Korpri?
Kalaupun ini kepentingan Korpri, kita perlu membaca kajian akademik dari surat yang diusulkan: apakah ada relevansi dari penambahan masa jabatan bakal berdampak tercapainya Asta Cita?
Sejauh apa penambahan masa jabatan bisa berdampak pada reformasi birokrasi? Atau jangan-jangan memang ini murni kepentingan segelintir kelompok yang diorkestrasi atas nama mewujudkan “Asta Cita”.
Tentu, publik akan mengaitkan usulan tersebut dengan kondisi ekonomi rakyat yang saat ini “ngos-ngosan”, kemiskinan struktural yang semakin lebar, APBN yang fokus pada program-program strategis, hingga angka korupsi yang “gila-gilaan.”
Jika perpanjangan masa jabatan ini direalisasikan, maka anggaran negara akan lebih banyak terserap untuk operasional birokrasi ketimbang layanan publik yang seharusnya diterima masyarakat.
Padahal di negara-negara maju justru melakukan langkah sebaliknya, yaitu pemangkasan birokrasi.
Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump bersama penasihat teknokratiknya, Elon Musk, memangkas ribuan posisi dalam pemerintahan federal, dari manajemen lahan hingga layanan veteran untuk memangkas biaya dan mempercepat layanan.
Langkah tersebut mungkin kontroversial. Namun ecara prinsip menunjukkan keberanian mendesain ulang birokrasi agar lebih ringkas dan produktif.
Di Vietnam, pemerintah juga melakukan restrukturisasi besar-besaran kementerian dan lembaga yang dianggap terlalu ruwet. Tujuannya jelas: birokrasi yang lebih gesit, hemat anggaran, dan berorientasi pada hasil.
Ironisnya, Indonesia di tengah perlambatan ekonomi, beban fiskal yang meningkat, dan tingginya ketimpangan sosial, justru ada usul perpanjangan masa jabatan ASN.
Kita seperti berjalan mundur di tengah tuntutan zaman yang memerlukan percepatan dan efisiensi.
Paradoks
Seharusnya mata, hati, dan telinga kita terbuka bahwa berdasarkan catatan BPS, perlambatan ekonomi yang terjadi saat ini juga karena jumlah pengangguran di Indonesia yang meningkat sekitar 83.000 menjadi 7,28 juta orang per Februari 2025 (Harian EDA WEB, 14/5/2025).
Pengangguran berpendidikan diploma IV, S1, S2, dan S3 meningkat drastis, sedangkan tamatan SMA ke bawah cenderung turun dibandingkan tahun sebelumnya.
Lantas, menjadi catatan sekaligus pertanyaan kritis kepada negara: apa mungkin di tengah jeritan dan tangisan para pengangguran terdidik ini lebih memilih memperpanjang masa jabatan ASN ketimbang menyelamatkan orang muda terdidik yang katanya “bonus demografi kita”?
Baca juga:
Beban belanja pegawai dalam APBN terus meningkat dari tahun ke tahun, terlebih kian membengkaknya birokrasi di era pemerintahan sekarang ini.
Dalam lima tahun terakhir, porsi belanja pegawai dalam APBN masih yang terbesar menyedot anggaran pemerintah pusat, mengalahkan belanja modal, subsidi, atau belanja lain.
Inilah paradoks reformasi birokrasi: narasi ingin menciptakan birokrasi yang gesit, lincah, dan adaptif, tetapi instrumen kebijakannya justru mengarah pada konservatisme.
Narasi ingin menghapus praktik patronase dan birokrasi feodal, tapi usulan yang dirancang justru mempertahankan figur lama dengan alasan “pengalaman” dan “stabilitas”, tanpa evaluasi berbasis kinerja, tanpa kejelasan indikator publik, tanpa domino effect secara multidimensional.
Jika benar reformasi birokrasi dimaksudkan untuk mendukung kesejahteraan rakyat, maka ukurannya bukan seberapa banyak ASN yang berhasil mempertahankan posisinya, melainkan seberapa besar layanan publik yang mampu menyentuh dan mengangkat masyarakat dari jerat kemiskinan struktural.
Wacana penguatan ASN seharusnya diarahkan untuk meningkatkan kapabilitas, akuntabilitas, dan integritas, bukan semata memperpanjang masa tinggal di posisi tertentu.
Pembenahan tata kelola ASN tidak boleh menjadi proyek politis atau proteksi jabatan, tetapi harus menjadi instrumen untuk mempercepat inklusi sosial dan keadilan ekonomi.
Rasanya saya tidak perlu menjelaskan berulang kali apa saja dinamika wacana dalam revisi UU ASN. Namun, harapan saya jika reformasi birokrasi hanya diperlakukan sebagai slogan tanpa substansi, maka kita sedang mengulang siklus kegagalan tata kelola.
Revisi UU ASN adalah batu ujian apakah negara serius membangun birokrasi yang meritokratik dan berpihak pada rakyat, atau justru kembali memelihara birokrasi yang transaksional, eksklusif, dan tidak relevan bagi masa depan.
Sekali lagi, rakyat kita saat ini sedang kesakitan, pengangguran terdidik menjerit dalam kesunyian, hingga mereka yang putus asa dalam kemiskinan struktural.
Revisi UU ASN semestinya menjadi jalan pembenahan tata kelola ASN yang lebih meritokratik dan profesional.
Di tengah besarnya penderitaan rakyat, rasanya tidak elok jika hanya berbicara soal perpanjangan masa jabatan.
Harapannya Korpri ke depan menyuarakan reformasi birokrasi bukan tentang menjaga kenyamanan birokrat, tapi tentang memastikan birokrasi bekerja untuk rakyat. Reformasi harus menjadi janji yang ditepati, bukan jargon yang dimanipulasi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita EDA WEB WhatsApp Channel : . Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.
Sumber : Kompas