Tradisi Malam 1 Suro di Yogyakarta: Mubeng Beteng dan Lampah Ratri

  
Tradisi Malam 1 Suro di Yogyakarta: Mubeng Beteng dan Lampah Ratri

EDA WEB – Masyarakat dan sekitarnya setiap tahun berkumpul untuk melaksanakan berbagai tradisi pada , malam pergantian tahun dalam .

Tahun ini, malam 1 Suro jatuh pada Kamis, 26 Juni 2025 dan diwarnai dengan berbagai ritual budaya dan spiritual yang telah diwariskan turun-temurun.

Bagi masyarakat Jawa, khususnya di Yogyakarta, malam 1 Suro dipandang sebagai malam keramat yang penuh makna spiritual.

Baca juga:

Hari pertama bulan Suro dalam Kalender Jawa dianggap sebagai bulan suci dan menjadi momen refleksi untuk penyucian diri.

Dalam peringatan ini, masyarakat menunjukkan rasa syukur, memohon keselamatan, serta meneguhkan komitmen untuk menjaga warisan budaya leluhur melalui berbagai tradisi.

Baca juga:

Tradisi Mubeng Beteng

Tradisi Mubeng Beteng menjadi bagian penting dalam perayaan malam 1 Suro di lingkungan Keraton Yogyakarta.

Dilansir dari (26/6/2025), tradisi ini telah diwariskan sejak masa Sri Sultan Hamengku Buwono II.

Tradisi Mubeng Beteng pernah tercatat dilakukan pada tahun 1919 dengan membawa bendera pusaka Kanjeng Kiai Tunggul Wulung, sebagai bagian dari ikhtiar spiritual untuk menghentikan pandemi influenza.

Mubeng Beteng diduga sudah berlangsung sejak masa Kerajaan Mataram di Kotagede. Pada awalnya, prosesi ini dilakukan oleh prajurit dengan alasan keamanan.

Namun, setelah dibangunnya parit-parit di sekeliling beteng, tugas Mubeng Beteng dialihkan kepada para abdi dalem. Mereka berjalan membisu sambil membaca doa-doa dalam hati sebagai permohonan keselamatan.

Prosesi Mubeng Beteng berlangsung dengan berjalan kaki mengelilingi benteng Keraton Yogyakarta sejauh kurang lebih 4 kilometer.

Kegiatan dimulai dari Bangsal Pancaniti, diawali dengan pelantunan tembang macapat oleh para abdi dalem. Tembang-tembang tersebut mengandung doa dan harapan untuk keselamatan serta kesejahteraan masyarakat di tahun mendatang.

Peserta Mubeng Beteng tidak hanya terdiri dari kalangan abdi dalem, tetapi juga masyarakat umum dan perwakilan dari masing-masing kabupaten/kota di wilayah DIY.

Rute perjalanan dimulai dari Bangsal Pancaniti dan berakhir di Alun-Alun Utara.

Dalam prosesi ini, seluruh peserta diwajibkan untuk menjaga keheningan total, tidak berbicara selama perjalanan.

Praktik ini dikenal sebagai topo bisu, yang mencerminkan perenungan diri dan laku prihatin atas perbuatan selama setahun terakhir.

Tidak ada sanksi formal bagi peserta yang melanggar keheningan, namun mereka yang sengaja membuat kegaduhan akan menerima sanksi sosial berupa teguran dari abdi dalem dan celaan dari masyarakat.

Setelah prosesi selesai, peserta dapat menikmati Bubur Suran yang disajikan di area Keraton Yogyakarta.

Bubur ini memiliki rasa gurih manis, dimasak dari beras dengan santan, garam, serai, dan jahe, serta dilengkapi lauk seperti opor ayam dan sambal goreng.

Ciri khasnya adalah penggunaan tujuh jenis kacang—kacang tanah, mede, kedelai, hijau, tholo, bogor, dan merah—sebagai simbol dari tujuh hari dalam seminggu, menandakan pentingnya bersyukur setiap hari.

Tradisi di Pura Pakualaman

Selain di Keraton Yogyakarta, Pura Pakualaman juga menyelenggarakan tradisi serupa yang dikenal dengan nama Lampah Ratri atau Mlampah Ratri.

Prosesi ini dimulai dengan pembacaan tembang macapat pada pukul 21.00, kemudian dilanjutkan dengan pertunjukan wayang kulit yang berlangsung hingga tengah malam.

Kanjeng Raden Tumenggung Projo Anggono, Penghageng Urusan Kapanitran Pura Pakualaman menjelaskan bahwa dalam tradisi Lampah Ratri, doa-doa tidak dilafalkan dengan suara, melainkan dikirimkan dalam batin selama perjalanan mengelilingi beteng Kadipaten.

“Kita hanya berdoa dan tidak boleh ngomong apapun,” ujarnya saat ditemui di Pura Pakualaman, Kamis (26/6/2025).

Ia menambahkan bahwa selama perjalanan, masyarakat mengungkapkan rasa terima kasih karena telah melewati satu tahun penuh, sekaligus memohon perlindungan kepada Tuhan untuk perjalanan hidup ke depan.

Perjalanan dimulai tepat tengah malam dari Regol Barat Pura Pakualaman, menelusuri rute ke jalan Bintaran, Surokarsan, Taman Siswa, Ki Mangunsarkoro, Gayam, Bausasran, Jagalan, Sultan Agung, dan kembali ke kompleks Pura.

Peserta lalu mengitari beteng Kadipaten melalui jalan Harjono, Purwanggan, Harjowinatan, hingga kembali ke titik awal. W

“Kita hanya berdoa dan tidak boleh ngomong apapun. Doa di batin, tidak ada percakapan dari jam 24.00 masuk ke sini lagi sekitar jam 2.15,” kata dia.

Peserta Lampah Ratri terdiri dari abdi dalem, sentono dalem, dan masyarakat umum.

Mereka berjalan tanpa berbicara, hanya terdengar suara langkah kaki di atas jalan dan doa-doa yang dibisikkan dalam hati.

Setelah kembali ke halaman Pura, seluruh peserta bersama-sama menyantap Jenang Meranggul, bubur khas yang dimaknai sebagai simbol “merangkul tahun yang baru”.

Ribuan orang hadir dalam momen ini dan duduk bersama untuk makan, menyatukan semua lapisan masyarakat tanpa memandang status sosial.

“Jenang Meranggul adalah simbol kita menyambut tahun Dal, tahun baru Jawa. Kita makan bersama sebagai bentuk kebersamaan,” ungkap Projo.

Tradisi Lampah Ratri tidak hanya menjadi bentuk pelestarian budaya, tetapi juga menjadi sarana untuk memperkuat hubungan spiritual dengan Tuhan, melalui keheningan, syukur, dan kebersamaan dalam menyongsong tahun baru Jawa.

(EDA WEB: Ahmad Yasin, Wisang Seto Pangaribowo, Diamanty Meiliana)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita EDA WEB WhatsApp Channel : . Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Sumber : Kompas