WASHINGTON DC, EDA WEB – Presiden Amerika Serikat () Donald pada Senin (12/5/2025) menawarkan diri untuk ikut serta dalam antara Presiden Volodymyr dan Presiden Vladimir yang akan digelar di , , Kamis pekan ini.
Pernyataan tersebut muncul setelah pemerintah AS melalui juru bicara Departemen Luar Negeri AS Tammy Bruce mengatakan tidak lagi menjadi mediator dalam konflik Rusia-Ukraina.
“Saya berpikir untuk terbang ke sana (Turkiye). Ada kemungkinan begitu,” kata Trump kepada wartawan di Gedung Putih.
“Saya pikir akan ada hasil yang baik dari pertemuan hari Kamis di Turkiye antara Rusia dan Ukraina, dan saya yakin kedua pemimpin akan hadir di sana,” imbuhnya.
Trump bahkan yakin pertemuan kali ini akan menghasilkan kesepakatan yang menguntungkan kedua belah pihak.
“Saya punya firasat mereka akan menghasilkan kesepakatan,” ujar Trump.
Sebelumnya, Zelensky menyatakan siap bertemu langsung dengan Putin di Istanbul pada pekan ini untuk membuka peluang perdamaian.
Namun, sejauh ini, belum ada respons resmi dari Moskwa apakah Putin akan hadir dalam pertemuan tersebut.
AS mundur, Trump melangkah maju
Tawaran Trump ini menarik perhatian karena bertolak belakang dengan sikap pemerintahannya.
Pada awal Mei 2025, Bruce menyatakan bahwa Washington tak lagi aktif menjadi mediator konflik Rusia-Ukraina karena tidak adanya kemajuan yang signifikan.
Ia menegaskan bahwa penyelesaian perang kini tergantung pada kedua pihak yang bertikai.
“Kami tidak akan terus-menerus terbang ke seluruh dunia untuk memediasi perundingan. Kini saatnya Rusia dan Ukraina menunjukkan keseriusan mereka sendiri,” kata Bruce.
Pernyataan ini disampaikan setelah upaya-upaya mediasi AS sebelumnya, termasuk negosiasi gencatan senjata dan pertemuan dengan pejabat Rusia di Arab Saudi, gagal menghasilkan kemajuan nyata.
Trump sendiri sempat frustrasi dengan lambannya proses damai, meski pernah mengklaim bisa mengakhiri perang “dalam satu hari” jika dirinya terpilih menjadi Presiden AS.
Meski begitu, AS tetap menjalin kerja sama strategis dengan Ukraina. Baru-baru ini, kedua negara menandatangani perjanjian kerja sama untuk pengembangan mineral penting, yang membuka jalan bagi bantuan teknologi, pelatihan militer, hingga pasokan peralatan.
Bahkan, Departemen Luar Negeri AS telah menyetujui penjualan senjata dan peralatan militer senilai 50 juta dolar AS (sekitar Rp823 miliar) ke Ukraina.
Sementara itu, paket sanksi ekonomi baru terhadap Rusia juga telah disiapkan, termasuk pembatasan terhadap perusahaan energi seperti Gazprom, meski masih menunggu persetujuan akhir dari Trump.
Saling tuduh langgar kesepakatan gencatan senjata
Menjelang pertemuan di Turkiye, Rusia dan Ukraina masih saling meyalahkan satu sama lain atas gagalnya kesepakatan gencatan senjata.
Rusia menuduh Ukraina telah melanggar lebih dari 130 kali kesepakatan gencatan senjata, termasuk moratorium serangan terhadap fasilitas energi Ukraina selama 30 hari, dari 18 Maret hingga 17 April.
Sementara itu, Rusia dituding masih menyerang beberapa wilayah Ukraina saat Putin mengumumkan gencatan senjata sepihak pada 8-10 Mei 2025.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita EDA WEB WhatsApp Channel : . Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.
Sumber : Kompas