“Aku Bukan Mencuri”: Cerita Heri, Tunanetra yang Terjaring Razia

  
"Aku Bukan Mencuri": Cerita Heri

, EDA WEB – Heri Sandarman Hulu (28) masih mengingat jelas siang itu, Jumat (13/6/2025), ketika langkahnya terhenti di depan Toko Roti Ganda, Jalan Sutomo, Kota . Bersama rekannya sesama tunanetra, Lastiur Sitanggang, Heri bernyanyi sambil membawa pengeras suara. Tapi bukan rezeki yang datang—melainkan petugas razia.

“Biasanya aku ngamen keliling. Entah kenapa, sekali itu aku ke situ (Toko Roti Ganda), langsung ditangkap,” kata Heri saat ditemui di tempat kosnya di Jalan Medan Area, Kecamatan Siantar Barat, Jumat (20/6/2025).

Petugas gabungan dari Dinas Sosial, Satpol PP, dan polisi tiba-tiba datang. Heri terjatuh di trotoar, tangannya digenggam kuat, alat musiknya rusak, dan rekannya lebih dulu diseret masuk ke mobil Dinsos.

“Cara menangkap itu kayak teroris. ‘Ha! kami tangkap.’ Tangan saya dipegang. Saya didorong, kaki ku ditarik,” ucapnya.

“Saya bilang saya enggak mau dibawa ke kantor. Kalau dibilang aku sengaja jatuh, enggak mungkin karena aku bawa alat musik. Aku mau melindungi alat itu,” tambahnya.

Baca juga:

Loudspeaker rusak, kabel baterai terputus. Heri akhirnya ikut Lastiur masuk ke mobil. Di kantor Dinas Sosial Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P3A) mereka diminta menandatangani surat pernyataan, tanpa tahu isinya.

“Kami enggak tahu isinya apa. Inti surat itu kami enggak boleh lagi mengamen. Kalau mengamen lagi, melanggar undang-undang. Begitu katanya,” ucap Heri.

Lastiur lebih terpukul. Ia menangis selama dua hari dan sempat jatuh sakit. “Saya trauma sejak kejadian itu. Sekarang kalau dengar sirine di jalan saya merasa ketakutan,” ucapnya lirih.

Dua hari setelah peristiwa itu, Heri kembali mencoba mengamen di Jalan Cipto. Saat itulah ia dijemput oleh seseorang yang mengajaknya ke rumah dinas Wali Kota Pematangsiantar, Wesly Silalahi.

“Diajak, aku enggak tahu siapa. Saya ikut naik kereta (motor). Saya sempat takut karena saya buta dan enggak bawa handphone. Saya sendirian,” kata Heri.

Baca juga:

Di rumah dinas, Heri menyampaikan keluhannya. Ia menceritakan bagaimana ia dan Lastiur ditangkap dengan cara yang menurutnya tak manusiawi. Ia juga membantah telah tiga kali terjaring razia seperti yang sempat disebutkan pihak berwenang.

Saat itu, Wali Kota memberikan uang tunai sebesar Rp 5 juta dan menyarankan Heri pulang kampung. “Saya bilang saya bisa pijat. Saya disalamkan uang lima juta dengan syarat saya tidak bekerja di sini dulu. Enggak ngamen dulu selama dua minggu. Itu biaya yang diberikan kepada saya. Kalau modal usaha sampai sekarang belum ada,” katanya.

Heri tinggal di sebuah indekos berdinding papan bersama istrinya, Nelly Hutauruk, dan anak mereka yang masih kecil. Selain mereka, ada Lastiur dan lima orang tunanetra lainnya yang hidup satu atap. Mereka membayar Rp 15.000 per malam. Kamar mandi ada di lantai bawah, dan harus turun tangga.

Baca juga:

“Ada delapan orang tunanetra dan tiga orang penuntun. Mereka saya anggap seperti keluarga sendiri,” kata boru Marpaung, pemilik kos.

Semua penghuni kos tergabung dalam Anggota Masyarakat Peduli Indonesia (MPDI). Mereka hidup dari hasil mengamen keliling atau di SPBU.

“Kalau hari biasa paling dapat Rp 100.000 atau Rp 120.000, kalau Sabtu-Minggu bisa Rp 150.000 sampai Rp 170.000,” ujar Heri.
“Nyanyi pakai speaker. Untuk cukup makan sehari-hari,” lanjutnya.

Baca juga:

Ia tahu, mengamen bukan pekerjaan permanen. Heri punya rencana: membuka usaha pijat, dan pulang kampung. Tapi modal belum ada, dan bantuan sosial pun tak pernah menyentuh mereka karena status domisili yang tak tetap.

“Aku cari makan di Kota Siantar ini, bukan mencuri. Kalau dibilang saya pulang kampung, saya masih di sini. Bagaimana saya pulang, belum punya modal usaha,” ucap Heri, lirih.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita EDA WEB WhatsApp Channel : . Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Sumber : Kompas