
WASHINGTON DC, EDA WEB – Keputusan untuk mundur dari dunia politik sempat memunculkan harapan di kalangan investor. Mereka menilai, langkah itu akan membuat Musk lebih fokus mengelola berbagai perusahaannya di sektor teknologi.
Namun, konflik terbukanya atau () justru menimbulkan dinamika baru.
Pernyataan-pernyataan keras Musk terhadap Gedung Putih memunculkan pertanyaan soal prioritas barunya dan apakah langkah ini benar-benar menjadi titik balik positif bagi bisnisnya.
Baca juga:
Bukan memperkuat posisi bisnisnya, Musk kini menghadapi risiko boikot dari pelanggan penting, yakni pemerintah federal AS di bawah kepemimpinan Trump.
Pada Kamis (5/6/2025), saham anjlok hingga 14 persen usai Musk mengunggah pernyataan keras tentang Trump di platform media sosial X.
Meski sempat pulih tipis pada Jumat keesokan harinya, situasi ini menambah kekhawatiran kalangan investor.
Harapan yang kian menipis
Bagi sebagian investor dan analis, masalah Musk tak sekadar soal perseteruannya dengan Trump. Mereka menilai, bisnis Musk, khususnya Tesla, menghadapi tantangan fundamental yang lebih dalam.
“Tesla sudah tamat,” ujar jurnalis teknologi senior Kara Swisher kepada BBC dalam acara San Francisco Media Summit pekan ini.
Menurut Swisher, meski Tesla sempat menjadi pelopor kendaraan listrik, perusahaan itu kini tertinggal dalam pengembangan taksi otonom.
Di sisi lain, Waymo perusahaan kendaraan otonom milik Alphabet (induk Google) sudah mengoperasikan layanan taksi tanpa sopir di sejumlah kota di Amerika Serikat.
Musk sebelumnya dijadwalkan meluncurkan armada taksi otonom Tesla di Austin, Texas, bulan ini. Lewat unggahannya di X, ia mengklaim bahwa Tesla telah menguji coba Model Y tanpa pengemudi.
Baca juga:
“Saya percaya 90 persen dari nilai masa depan Tesla berasal dari otonomi dan robotika,” kata Dan Ives, analis dari Wedbush Securities, kepada BBC. Ia menyebut peluncuran di Austin sebagai “momen penting”.
Namun, dengan perhatian Musk yang terbagi, banyak yang meragukan keberhasilan proyek ini.
Pertanyaan tentang motivasi Musk
Di kalangan Silicon Valley, perbincangan kini bergeser. Bukan lagi soal apakah Musk mampu membawa Tesla kembali ke jalurnya, melainkan apakah ia masih peduli.
“Ia adalah sosok hebat saat fokus,” ujar Ross Gerber, Presiden dan CEO Gerber Kawasaki Wealth and Investment Management.
Menurut Gerber, semangat Musk dahulu adalah untuk membuktikan dirinya bisa menciptakan mobil listrik dan roket, hal yang dianggap mustahil oleh banyak orang.
Namun kini, Gerber mengaku kecewa dengan arah politik Musk. Ia bahkan mengurangi kepemilikannya di Tesla. Hari Kamis disebutnya sebagai “hari yang sangat menyakitkan”.
“Berpikir bahwa Anda lebih berkuasa dari Presiden Amerika Serikat adalah hal paling bodoh yang bisa dilakukan,” kata Gerber, merujuk pada cuitan Musk yang menyerang Trump.
Pihak BBC mengaku telah menghubungi X, Tesla, dan SpaceX untuk meminta komentar dari Elon Musk, namun tidak mendapat tanggapan.
Baca juga:
Kampanye #TeslaTakedown
Sebelum berseteru dengan Trump, Musk sudah lebih dahulu menghadapi gelombang protes dari gerakan akar rumput di media sosial.
Kampanye bertajuk #TeslaTakedown telah digelar di berbagai kota setiap akhir pekan sejak Trump menjabat. Mereka mengecam langkah Musk yang dinilai merusak nilai-nilai demokrasi.
Pada April 2025, Tesla mencatat penurunan penjualan mobil hingga 20 persen pada kuartal pertama. Keuntungan merosot lebih dari 70 persen, disertai dengan penurunan harga saham.
“Dia tidak seharusnya menentukan nasib demokrasi kita dengan membongkar pemerintahan bagian demi bagian. Itu tidak benar,” ujar Linda Koistinen, salah satu demonstran di luar dealer Tesla di Berkeley, California.
Menurut Koistinen, protes tersebut adalah bentuk perlawanan personal terhadap Musk.
Senada dengan itu, Joan Donovan, peneliti disinformasi yang turut mengorganisir kampanye #TeslaTakedown, menyatakan bahwa isu ini lebih dari sekadar teknologi atau perusahaan.
“Ini tentang bagaimana saham Tesla bisa dijadikan alat untuk melawan masyarakat, dan bagaimana Musk memperoleh kekuasaan besar tanpa adanya transparansi,” ujar Donovan.
Donovan juga menyoroti peran X (dahulu Twitter), platform media sosial yang kini dimiliki Musk.
Baca juga:
“Ia membeli Twitter agar bisa memiliki pengaruh dan menjangkau ratusan juta orang dalam sekejap,” tambah Donovan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita EDA WEB WhatsApp Channel : . Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.
Sumber : Kompas