
EDA WEB – Menjadi satu-satunya yang selamat dalam kecelakaan tragis, seperti kasus di Ahmedabad tentu sebuah keajaiban. Namun, rasa bersalah karena selamat seorang diri berpotensi membebani penyintas.
Dalam dunia psikologi, kondisi ini dikenal sebagai atau .
Menurut Psikolog Yustinus Joko Dwi Nugroho, M.Psi., Psikolog dari RS Dr. Oen Solo Baru, survivor guilt adalah kondisi psikologis ketika seseorang merasa bersalah karena dirinya selamat dari peristiwa tragis, seperti kecelakaan, bencana alam, perang, atau pandemi, sedangkan orang lain tidak.
“Beberapa klien saya pernah mengalami survivor guilt. Mereka merasa tidak pantas untuk hidup atau bahagia karena merasa bersalah, terus-menerus memikirkan kenapa dirinya selamat, sedangkan orang lain tidak,” ujar Joko kepada EDA WEB, Sabtu (14/6/2025).
Dukungan sosial penting dalam survivor guilt
Orang yang selamat dari tragedi tidak hanya butuh sembuh secara fisik, tapi juga secara emosional. Peran orang terdekat sangat besar dalam proses ini.
“Yang paling dibutuhkan adalah pendengar yang tidak menghakimi. Kadang keluarga atau pasangan buru-buru memberi solusi, padahal yang dibutuhkan hanya hadir dan memahami,” kata Joko.
Ia menambahkan, keluarga juga bisa membantu penyintas mengenali dan mengelola emosinya, serta mendorong untuk mencari bantuan psikologis bila diperlukan.
Baca juga:
Mengubah luka menjadi makna
Selain terapi profesional, penyintas bisa dibantu untuk membentuk makna baru dari pengalaman tragis yang dialami, seperti terlibat dalam kegiatan sosial atau menulis pengalaman pribadi sebagai bentuk katarsis.
“Menulis bisa membantu menyuarakan emosi yang sulit diungkapkan. Itu bisa jadi terapi untuk mengurai pikiran yang mengganggu dan menemukan perspektif baru yang lebih sehat,” ujar Joko.
Perasaan bersalah bukan tanda kelemahan, melainkan respons emosional manusiawi yang perlu dikenali dan diterima.
Dan yang paling penting, penyintas berhak untuk hidup, bahagia, dan pulih, dengan dukungan yang hangat, bukan penghakiman.
Baca juga:
Kenapa survivor guilt bisa muncul?
Joko menjelaskan, ada banyak faktor yang bisa memicu survivor guilt. Salah satunya adalah empati tinggi yakni ketika seseorang merasa ikut merasakan kesedihan yang dalam terhadap korban lain sehingga merasa memiliki tanggung jawab emosional.
Ada pula karena distorsi kognitif atau keyakinan keliru bahwa mereka seharusnya bisa mencegah tragedi atau menyelamatkan orang lain.
Pemicu lainnya adalah kebutuhan mencari makna. Dalam peristiwa tragis yang tak bisa dijelaskan, menyalahkan diri sendiri jadi cara paling “mudah” untuk memberi alasan.
Terakhir, ada faktor nternalisasi nilai moral. Individu dengan nilai pengorbanan tinggi cenderung menyalahkan diri karena merasa tidak cukup berbuat banyak untuk orang lain.
Baca juga:
Apa saja gejala survivor guilt?
tidak hanya menimbulkan rasa bersalah, tapi juga gejala psikologis yang mengganggu keseharian. Apa saja?
- Pikiran obsesif, seperti, “HHarusnya aku yang mati”
- Sedih berkepanjangan atau kehilangan semangat hidup
- Gangguan tidur dan mimpi buruk
- Kecemasan dan gejala fisik seperti jantung berdebar
- Menghindari tempat atau situasi yang mengingatkan pada tragedi
- Kesulitan menjalin hubungan sosial karena merasa tidak layak bahagia
“Kadang seseorang yang mengalami survivor guilt jadi punya pikiran untuk tidak hidup lagi, seolah itu bisa jadi bentuk penebusan atas rasa bersalah yang dirasakannya,” kata Joko.
Survivor guilt bisa berkembang menjadi gangguan mental. Jika tidak ditangani dengan tepat, survivor guilt bisa berkembang menjadi gangguan psikologis serius, seperti Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD) atau depresi klinis.
Baca juga:
Menurut Joko, kondisi ini bisa dikenali bila perasaan bersalah berlangsung lebih dari satu bulan dan mengganggu fungsi harian.
“Kalau sudah mulai menghindari tempat atau orang yang mengingatkan pada kejadian, emosi jadi mati rasa, hingga muncul keinginan untuk tidak hidup, itu tandanya perlu bantuan profesional,” jelasnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita EDA WEB WhatsApp Channel : . Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.
Sumber : Kompas