Politik Uang

  
Politik Uang

ADA suara yang tak lahir dari nurani, tapi dari lembaran rupiah. Di ruang yang seharusnya menjadi tempat adu gagasan, suara dijajakan di pasar gelap kekuasaan.

Kita menyebutnya: . Istilah yang terdengar biasa, terlalu sering, terlalu sering pula didiamkan.

Ia seperti kabut yang kita hirup setiap hari, samar, tetapi menyusup ke dalam paru-paru demokrasi kita yang makin sesak.

bukanlah kejahatan biasa. Ia bukan hanya pelanggaran pemilu, bukan sekadar transaksi antara pemberi dan penerima. Ia adalah cara diam-diam membajak kedaulatan rakyat.

Ketika suara bisa dibeli, maka kehendak rakyat tak lagi suci. Ia jadi barang dagangan. Dan kita pun berubah: dari warga negara menjadi konsumen yang dibujuk diskon, diiming janji, digoda paket sembako.

Ada yang dijual dalam setiap lembar suara. Barangkali bukan hanya kehendak, tetapi juga masa depan.

Politikus yang membeli suara tak membeli komitmen untuk melayani. Ia membeli kekuasaan untuk membalas modal.

Baca juga:

Maka yang terjadi setelahnya adalah kalkulasi: berapa yang harus dikembalikan kepada penyandang dana, berapa proyek yang bisa “dijual kembali” untuk menutup biaya kampanye.

Politik uang melahirkan kepemimpinan palsu: mereka yang naik bukan karena kapasitas, tapi karena kapital. Dan dari sinilah lingkaran setan dimulai: kekuasaan dibeli, lalu digunakan untuk mengembalikan pembelian itu lewat korupsi, kolusi, dan pengkhianatan terhadap publik.

Dalam bayang-bayang itu, politik kehilangan esensinya. Ia tak lagi ruang untuk merawat cita-cita bersama, tapi menjadi gelanggang para pedagang mimpi.

Yang dijual bukan hanya janji, tapi juga harga diri. Kita, rakyat, diajak bertransaksi dengan kekuasaan yang seharusnya kita awasi.

Normalisasi

Yang lebih berbahaya dari politik uang bukanlah praktiknya semata, melainkan normalisasi terhadapnya. Banyak yang tak lagi menganggapnya sebagai masalah.

“Itu biasa,” kata sebagian warga. “Yang penting kami dapat bagian”. Logika semacam ini perlahan merusak fondasi moral bernegara.

Dalam banyak kasus, praktik politik uang bahkan dianggap sebagai bentuk “berbagi rezeki”. Para kandidat datang dengan uang dan bingkisan, disambut hangat sebagai “dermawan politik”.

pun direduksi menjadi festival hadiah. Antusiasme warga bukan karena visi kandidat, tetapi karena amplop yang dijanjikan.

Benarkah rakyat semata-mata korban?

Tidak selalu. Ada juga warga yang aktif memainkan peran sebagai penjual suara. Mereka tahu siapa yang akan datang membawa uang, siapa yang hanya membawa program. Mereka tahu, dan mereka memilih uang.

Baca juga:

Dalam situasi ini, demokrasi bukan lagi proses pemilihan, tetapi pelelangan. Dan seperti dalam pelelangan, pemenang bukan yang terbaik, melainkan yang paling banyak menawar.

Di tengah situasi ini, negara pun tampak bimbang. Lembaga penyelenggara pemilu seringkali tak punya cukup daya untuk menindak.

Bukti sulit dicari, saksi enggan bicara. Dan di balik semua itu, ada rasa takut: jika politik uang ditindak tegas, maka akan banyak yang tumbang, termasuk mereka yang sedang berkuasa.

Politik uang menjadi paradoks negara demokrasi: semua orang tahu salah, tapi semua pura-pura tak tahu.

Sebagian pihak bahkan memakai politik uang sebagai taktik sistematis. Ia bukan kebetulan, tapi strategi. Ada tim, ada logistik, ada distribusi. Semua dirancang, semua dihitung, semua disebar dalam malam-malam sebelum pencoblosan.

Dan ketika yang salah dianggap biasa, maka negara pun kehilangan taring moralnya.

Bahaya terbesar politik uang bukan hanya pada hasil Pemilu, tapi pada kerusakan jangka panjang yang ditinggalkannya.

Politik uang mengikis kepercayaan publik pada proses demokrasi. Rakyat melihat pemilu bukan sebagai ruang perubahan, tapi sekadar ajang rebutan kuasa.

Dan dalam kerusakan itu, tumbuh apatisme. Mereka yang jujur enggan mencalonkan diri. Mereka yang idealis memilih mundur.

Publik pun makin asing pada demokrasi yang sejatinya milik mereka. Demokrasi jadi milik para pemodal, dikelola oleh elite, dan dibungkam oleh kemewahan.

Dalam konteks inilah kita mesti sadar bahwa politik uang adalah bentuk kekerasan struktural. Ia menciptakan ketimpangan partisipasi. Ia memperkuat oligarki. Ia membungkam suara-suara alternatif yang tak punya logistik, tapi punya gagasan.

Maka tak cukup hanya menyebutnya sebagai pelanggaran teknis. Ia adalah pengkhianatan etis.

Moral

Barangkali yang kita perlukan hari ini bukan hanya penindakan hukum, tetapi kebangkitan moral politik. Kita memerlukan keberanian untuk mengatakan tidak pada uang.

Kita memerlukan sistem yang lebih transparan, pendidikan politik yang lebih mendalam, dan partai-partai yang tak menjadikan Pemilu sebagai ladang investasi.

Lebih dari itu, kita memerlukan kesadaran: bahwa setiap suara yang dijual, adalah demokrasi yang dicuri.

Baca juga:

Kesadaran ini tak lahir dari seminar atau undang-undang, tapi dari kegelisahan warga. Dari keinsafan bahwa politik bukan pasar, dan suara bukan barang dagangan.

Bahwa Pemilu bukan soal siapa yang paling royal, tapi siapa yang paling mampu memperjuangkan nasib rakyat.

Akhirnya, tak ada perbudakan yang lebih menyedihkan daripada tunduk pada kekuasaan yang dibeli. Dalam politik uang, kebebasan memilih disamarkan sebagai kebebasan menerima. Kita memilih, katanya—padahal kita dibeli.

Politik uang adalah jalan pintas menuju kehancuran. Demokrasi tak dibunuh dengan kudeta, tapi dibusukkan dari dalam oleh kebiasaan yang terus dibiarkan.

Dan mungkin, satu-satunya cara menyelamatkan negeri ini adalah dengan berani tidak menerima. Tidak menjual suara. Tidak membiarkan suara kita ditentukan oleh isi kantong, tapi oleh isi pikiran.

Karena jika kita tak bisa melawan politik uang, maka suatu hari nanti kita hanya akan bisa memilih: dibeli atau ditinggalkan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita EDA WEB WhatsApp Channel : . Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Sumber : Kompas