
EDA WEB – Kekecewaan mendalam masyarakat , yang merasa terpinggirkan akibat selama empat bulan terakhir tak terbendung.
“Mungkin pisang tak semahal nikel, sehingga pemerintah pusat tak begitu pedulikan Pulau Enggano dibanding eksploitasi nikel seperti di Papua,” keluh Iwan, seorang warga Pulau Enggano, Bengkulu.
Kondisi ini bermula dari , Bengkulu, yang mengakibatkan kapal ferry Pulo Tello tidak bisa lagi beroperasi.
Akibatnya, pengangkutan hasil bumi dari Pulau Enggano lumpuh total. Iwan, bersama ratusan petani lainnya, hanya bisa melihat pisang hasil panen mereka membusuk di ladang. Sumber penghidupan utama mereka pun menguap begitu saja.
Baca juga:
Bagaimana Dampaknya pada Kehidupan Warga?
Iwan mengandalkan hasil panen pisang untuk menyekolahkan anak-anaknya di Kota Bengkulu.
“Saya biasa kirim uang Rp 300.000 untuk dua minggu. Kini sudah tidak bisa. Anak saya sudah mengeluh, saya cuma bilang sabar, pisang belum laku,” ujarnya.
Harga jual pisang turun drastis ketika kapal alternatif milik tauke pisang dari kota datang. Mereka hanya bersedia membeli seharga Rp 20.000 per tandan, jauh dari harga normal Rp 55.000.
Baca juga:
Demi martabat dan keadilan harga, banyak petani menolak menjual dan lebih memilih membiarkan pisang-pisang itu membusuk. Kini, Iwan bekerja serabutan sebagai buruh proyek jalan dan nelayan.
“Empat bulan waktu yang panjang menunggu kapal. Kebutuhan-kebutuhan yang harus dipenuhi dengan uang, kini kami tak bisa lagi,” ucapnya.
Bagaimana dengan Akses Kesehatan dan Pendidikan?
Selain ekonomi, sektor kesehatan dan pendidikan juga terdampak. Pesawat yang tersedia ke luar pulau selalu penuh.
Sementara itu, kapal laut harus berlabuh jauh dari pantai, membuat evakuasi pasien menjadi sulit.
Salah satu kasus, seorang warga tak sadarkan diri selama delapan jam dan harus dievakuasi ke luar pulau dengan kapal, menempuh perjalanan selama 12 jam.
Baca juga:
Orangtua pun kesulitan mengirimkan uang untuk anak-anak mereka yang bersekolah di luar pulau.
“Kami cuma pesan anak-anak hemat uang karena tidak tahu kapan situasi akan normal,” kata Iwan.
Apa Kata Pemerintah dan AMAN?
Ketua AMAN Bengkulu, Fahmi Arisandi, menyebut kondisi ini sebagai bentuk pengabaian negara.
“Mungkin benar, andai Enggano punya tambang emas atau nikel, pulau ini akan cepat diselamatkan,” ujarnya.
Menurut Fahmi, lebih dari 4.000 warga kini mengalami kesulitan ekonomi, kesehatan, hingga kebutuhan dasar seperti air dan pangan.
Baca juga:
Warung tutup, penginapan sepi, dan masyarakat mulai melakukan barter untuk bertahan hidup.
Anggota Komisi VI DPR RI, Rieke Diah Pitaloka, menegaskan bahwa kondisi di Pulau Enggano harus dinaikkan dari status kritis menjadi darurat.
“Penanganan ini lamban karena Pemerintah Bengkulu hanya menyebut situasi ini kritis. Jika darurat, penanganannya akan lebih cepat dan terintegrasi,” kata Rieke.
Dalam kunjungan ke Pelabuhan Pulau Baai, Rieke bertemu KSOP Wilayah III, PT Pelindo Regional II, dan AMAN Bengkulu.
Ia menyampaikan hasil pertemuan tersebut ke Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, dan meminta agar Presiden Prabowo Subianto turut memberi perhatian.
Baca juga:
Rieke menyebut ada rencana mendatangkan kapal berkapasitas 75 GT dan dua kapal perintis untuk penumpang serta satu kapal langsir guna mengatasi keterisolasian.
“Ini sudah saya sampaikan ke Wakil Ketua DPR RI,” ujarnya.
Sementara itu, Kepala KSOP Wilayah III Pulau Baai, Petrus Christanto Maturbongs, membenarkan bahwa status “kritis” memang menghambat percepatan penanganan.
Baca juga:
“Penanganannya masih dalam kondisi normal. Jadi tidak perlu diskresi,” ucapnya.
Sebagian artikel ini telah tayang di dengan judul “”.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita EDA WEB WhatsApp Channel : . Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.
Sumber : Kompas