
EDA WEB – Usai lulus dari menengah atas Keluarga Kudus pada tahun 2022 lalu, Hala Alsammak sempat kuliah di Al Azhar University Gaza, Palestina.
Oktober 2023, kampusnya berubah menjadi puing-puing lantaran kena hantam serangan Israel.
Dalam konflik-konflik sebelumnya, Israel tidak menargetkan area hijau yang meliputi area pendidikan.
“Namun sejak minggu pertama (setelah 7 Oktober 2023, mereka mulai mengebom semua fasilitas umum,” kata Alsammak, dilansir The Guardian, Minggu (22/6/2025).
Baca juga:
Jadi keputusan tersulit
Kini, Alsammak (20) tak menyangka dapat bertemu kembali dengan dua teman sekelasnya, Tala Hakoura (20) dan Hala Idrees (18) di Sydney.
Western Sydney University alias WSU memang menyelenggarakan program bagi pengungsi dari konflik tahun lalu sebagai respons terhadap konflik global di Palestina, Lebanon, dan Ukraina.
Ketiganya termasuk di antara 35 pengungsi Palestina yang telah bergabung dalam program yang menawarkan jalur langsung menuju gelar sarjana itu
Baca juga:
Bagi Alsammak, keputusan untuk mengungsi dari rumah adalah keputusan tersulit dalam seluruh hidup dia dan keluarga.
Apalagi mereka tak membawa barang apapun karena berpikir bisa kembali ke rumah.
“Bagi kami, dan semua perang sebelum kami, ayah saya akan berkata, ‘Kami ingin mati bersama dan di rumah kami, mati di tempat yang sama bersama-sama’,” kata Alsammak menirukan ucapan ayahnya yang adalah guru biologi.
Baca juga:
Alsammak tiba di Australia bersama orangtua dan saudara perempuannya setahun lalu, setelah tujuh bulan berada dalam ketidakpastian di Mesir.
“Kami tidak tahu apa-apa. Kami tidak tahu toko-toko di sekitar kami, transportasi, kami harus mencari tahu sendiri. Lalu setiap kali saya pergi ke universitas (di Australia) mereka bilang ‘Tidak, kami tidak bisa membantu Anda’,” tutur Alsammak.
Dia mengatakan panggilan ke WSU adalah kesempatan terakhirnya.
Baca juga:
Sulit fokus belajar
Jenjang pendidikan Idrees terhenti di tahun ke-12 terhenti karena perang dan sekolahnya dibom. Entah bagaimana ia berhasil menyelesaikan pendidikannya secara daring dari Tepi Barat.
“Saya satu-satunya yang belajar, benar-benar sendirian,” ungkap Idrees.
Setelah tiba di Australia enam bulan lalu, Idrees disarankan melalui grup WhatsApp komunitas untuk mengikuti program WSU. Idrees disemangati oleh keluarganya untuk mendaftar.
Baca juga:
Hakoura telah berada di Australia selama setahun tanpa ibunya dan saudara perempuannya yang berusia 17 tahun, yang masih tinggal di Gaza. Ia mengatakan dua tahun tanpa belajar telah merusak kemampuannya untuk fokus.
“Bahkan sekarang, saya merasa sulit untuk belajar selama satu jam. Tetapi saya berjanji kepada ibu dan saudara perempuan saya, ‘Saya akan membuat kalian bangga pada saya, dan saya akan belajar sebaik-baiknya untuk mendapatkan nilai tinggi’,” ujar Hakoura.
Alsammak dan rekan-rekannya akan menyelesaikan kursus bahasa Inggris mereka minggu depan, membuka jalan untuk memulai gelar sarjana pada bulan Juli.
Baca juga:
Idrees ingin belajar ilmu kedokteran dan akhirnya menjadi dokter. Hakoura mempertimbangkan bisnis atau terapi okupasi.
Alsammak ingin mengambil terapi musik atau psikologi, setelah pengalamannya bekerja dengan anak-anak yang terjebak dalam konflik di Gaza.
Wakil rektor WSU, Prof George Williams mengatakan banyak mahasiswanya yang melakukan desakan pro-Palestina.
Baca juga:
“Kami merasa harus berbuat lebih banyak. Masyarakat setempat memberi tahu kami ‘apa yang bisa Anda lakukan?’, dan kami menanggapinya. Karena Anda harus memberi orang harapan dan rasa bahwa Anda bisa membuat perbedaan,” kata Williams.
“Anda tidak dapat mengubah geopolitik, tetapi Anda dapat memberi orang pendidikan,” imbuh sang profesor.
WSU juga baru saja kembali menduduki peringkat pertama THE Impact Rankings 2025 yang mengukur universitas-universitas di dunia yang berdampak ke masyarakat sesuai 17 SDG PBB. Ini adalah prestasi WSU yang keempat berturut-turut.
Universitas lain di Australia termasuk Flinders, Universitas Katolik Australia dan Universitas Queensland telah memberikan beasiswa atau menggandakan upaya mereka untuk mendukung pengungsi setelah perang di Gaza.
Baca juga:
Komisi Penyelidikan Internasional Independen PBB tentang Wilayah Palestina yang Diduduki memperkirakan awal bulan ini bahwa lebih dari 90 persen bangunan sekolah dan universitas di Gaza telah hancur dan lebih dari 658.000 anak di Gaza tidak bersekolah selama 20 bulan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita EDA WEB WhatsApp Channel : . Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.
Sumber : Kompas