Jakarta: Arena Peradaban Bangsa

  
Jakarta: Arena Peradaban Bangsa

SEBENTAR lagi akan menginjak 5 abad usianya. Jakarta sebagai ibu kota Indonesia, telah mengalami transformasi besar sejak awal berdirinya.

Dari Sunda Kelapa yang dikenal sebagai pusat perdagangan maritim pada 1527, hingga menjadi Batavia yang berfungsi sebagai simpul administratif dan ekonomi Hindia Belanda, kota ini telah melalui perjalanan panjang dalam membentuk identitasnya.

Setelah kemerdekaan, Jakarta terus tumbuh, menjadi motor penggerak pembangunan nasional dan pusat perekonomian yang menyumbang 60 persen PDB Indonesia. Namun, peran besar ini juga datang dengan tantangan yang kompleks.

Sebagai megapolis global, Jakarta saat ini menghadapi masalah yang sangat serius. Kemacetan, misalnya, tidak hanya menghambat mobilitas, tetapi juga merugikan ekonomi negara hingga Rp 71,4 triliun per tahun.

Baca juga:

Data dari Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) menunjukkan betapa besar kerugian yang ditimbulkan dari kemacetan.

Masalah lain yang tak kalah krusial adalah rendahnya ruang terbuka hijau (RTH), yang saat ini baru mencapai 5 persen, jauh dari 30 persen yang diamanatkan undang-undang.

Proyeksi banjir Jakarta pada 2050 juga menunjukkan potensi kerugian yang akan meningkat drastis, mencapai 402 persen. Tanpa kebijakan yang terintegrasi, kerugian ini bisa menjadi ancaman nyata bagi keberlanjutan kota.

Namun, Jakarta kini tengah bergerak menuju solusi berbasis data. Melalui kebijakan yang didorong oleh inisiatif global seperti C40 Cities dan Bloomberg Philanthropies, Jakarta berusaha mengatasi masalah lingkungan dan transportasi dengan mengadopsi konsep Kawasan Rendah Emisi Terpadu (KRE-T).

Di samping itu, penggunaan green sukuk dan insentif fiskal untuk mendorong investasi hijau turut memperkuat komitmen Jakarta dalam menghadapi krisis iklim.

Walau demikian, keberhasilan implementasi kebijakan ini sangat bergantung pada kolaborasi lintas sektor dan integrasi yang mendalam antara pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta.

Salah satu kunci utama untuk mengatasi tantangan besar Jakarta adalah meningkatkan mobilitas kota. Kemacetan bukanlah masalah sepele, melainkan masalah sistemik yang menghambat produktivitas dan daya saing Jakarta.

Solusi jangka panjang diperlukan, seperti percepatan pengembangan transportasi massal berbasis permintaan, dengan mengintegrasikan MRT, LRT, dan BRT dalam sistem single-ticketing dengan headway di bawah lima menit.

Reformasi tata ruang berbasis Transit-Oriented Development (TOD) juga menjadi langkah strategis untuk menciptakan kota yang lebih padat, fungsional, dan ramah lingkungan.

Selain itu, Jakarta perlu berfokus pada elektrifikasi transportasi publik dan komersial. Subsidi kendaraan listrik, insentif pajak, dan pengembangan infrastruktur pengisian berbasis energi terbarukan merupakan langkah-langkah penting untuk mengurangi emisi karbon dan meningkatkan kualitas udara kota.

Baca juga:

Inisiatif ini, jika diimplementasikan dengan tepat, dapat menjadikan Jakarta sebagai kota yang tidak hanya efisien, tetapi juga lebih hijau dan inklusif.

Inklusi sosial juga harus menjadi prioritas dalam pembangunan Jakarta. Meskipun ada beberapa kemajuan dalam hal peningkatan akses layanan kesehatan dan pendidikan, tantangan besar masih ada.

Data dari BPS menunjukkan bahwa hanya 9 persen masyarakat miskin Jakarta yang memiliki akses air pipa, jauh di bawah rata-rata nasional. Kelompok informal, yang mencakup sebagian besar tenaga kerja Jakarta, juga sangat rentan terhadap perubahan ekonomi.

Oleh karena itu, dibutuhkan jaring pengaman sosial yang lebih kuat dan inovasi dalam pemberdayaan.

Program pertanian urban dan inkubator teknologi berbasis AI dapat menjadi solusi untuk meningkatkan ketahanan pangan dan memberdayakan UMKM sektor informal.

Konsep “DNA kota” yang diajukan oleh peneliti ITB mengingatkan kita bahwa identitas Jakarta adalah hasil konvergensi antara tradisi dan modernitas.

Lima ratus tahun ke depan, pembangunan Jakarta harus merajut tiga dimensi utama: teknokratis, ekologis, dan sosio-kultural.

Penggunaan teknologi seperti digital twin dan Internet of Things (IoT) untuk manajemen sumber daya secara real-time, percepatan pencapaian 30 persen ruang terbuka hijau, dan keterlibatan komunitas lokal dalam perencanaan kebijakan akan memastikan bahwa Jakarta tetap relevan dengan kebutuhan masyarakatnya.

Dokumen Voluntary Local Review (VLR) yang diterbitkan pada 2024 dapat menjadi audit kredibel untuk mengukur kemajuan Jakarta dalam mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).

Penting untuk diingat bahwa keberlanjutan Jakarta tidak hanya bergantung pada kebijakan pemerintah, tetapi juga pada kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan akademisi.

Dengan kerjasama yang erat, Jakarta dapat berubah dari sekadar kota besar menjadi teladan peradaban urban yang tangguh, inklusif, dan regeneratif.

Di usia 500 tahun, Jakarta bukan hanya sekadar kota yang bertahan, melainkan sebuah laboratorium solusi berkelanjutan yang dapat menginspirasi dunia.

Dirgahayu Jakarta!

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita EDA WEB WhatsApp Channel : . Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Sumber : Kompas