Sampah dan Jakarta Setengah Milenium

  
Sampah dan Jakarta Setengah Milenium

BANGSA yang berbudaya itu disiplin dalam mengelola sampah. Tidak hanya kumpul, angkut, buang, tetapi memanfaatkannya agar bernilai,” kata Cepi Darmawan.

Cepi adalah aktivis lingkungan yang aktif dalam Perkumpulan Pengelola Sampah dan Bank Sampah Nusantara (Perbanusa). Hari Sabtu (21/6) kemarin, kami berkumpul dengan para penggiat gerakan peduli sampah dalam sebuah Focus Group Discussion (FGD).

Isu itu menarik. Tahun ini, hari lahir Jakarta mengusung tema besar: Jakarta kota global dan budaya. Mimpi Jakarta untuk menjadi top-20 kota dunia dan berbudaya akan diuji dengan kemampuannya mengelola sampah agar menjadi kota layak huni dan berkelanjutan.

Di sinilah masalahnya, Jakarta masih berjibaku dengan persoalan sampah. Dengan jumlah penduduk 11,34 juta jiwa, yang menghasilkan sampah sebanyak 7543 ton per hari (BPS, 2022), masih ada 3500 ton sampah per hari yang belum terkelola.

Menurut Menteri Lingkungan Hidup dan Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq, yang merujuk pada data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN), sebanyak 7.462 ton atau 86,69 persen total sampah di Jakarta masih diangkut ke Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang setiap harinya.

Strategi yang bertumpu di hilir

Selama ini, pendekatan pengelolaan sampah di Jakarta bertumpu ke hilir. Ini tercermin dari paradigma yang disampaikan oleh para aktivis pengelola sampah: kumpulkan, angkut, dan buang.

Baca juga:

Akibatnya, pengelolaan sampah bertumpu pada tempat pembuangan akhir. Sepanjang 2024, rata-rata 7.700 ton sampah masuk TPST Bantargebang per hari. Ada 1.200-1.300 ritase pengangkutan per hari.

Kini, sekitar 55 juta ton sampah masih menumpuk di sana, dengan ketinggian 40 meter atau setara gedung 16 lantai.

Selain itu, pendekatan itu berbiaya tinggi. DKI Jakarta harus mengeluarkan anggaran ratusan miliar rupiah hanya untuk biaya pengangkutan, tipping fee, kompensasi kepada warga dan pemerintah kota Bekasi, dan biaya operasional TPST Bantargebang.

Bayangkan, jika anggaran sebesar itu digeser untuk penanganan sampah di hulu. Selain lebih hemat, dampaknya juga bisa dirasakan warga Jakarta.

Pada kenyataannya, model penanganan sampah yang bertumpu di hilir juga menciptakan rantai bisnis pengelolaan sampah liar.

Seperti dilaporkan EDA WEB, ada banyak jasa pengangkutan liar dan tempat pembuangan sampah liar, yang berhasil mengeruk untung dari rantai pengelolaan sampah yang bertumpu di hilir ini.

Selain itu, penumpukan sampah organik yang tercampur di landfill menghasilkan gas metana (gas rumah kaca yang puluhan kali lebih berbahaya dari karbon dioksida) dan air lindi (cairan beracun dari sampah) yang dapat mencemari tanah dan sumber air di sekitarnya.

Pendekatan di hulu

Sejak 2008, kebijakan pengelolaan sampah mulai banting setir: tidak lagi bertumpu di hilir, tetapi difokuskan ke hulu. Di nasional, pergeseran paradigma ini ditandai dengan lahirnya UU nomor 18 tahun 2008 tentang pengelolaan sampah.

Di Jakarta, perubahan paradigma itu diadopsi oleh Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 3 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Sampah (diperbaharui oleh Perda Nomor 4 Tahun 2019), Pergub Nomor 77 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Sampah Lingkup Rukun Warga, dan Pergub 102 tahun 2021 tentang kewajiban pengolahan sampah di kawasan dan perumahan.

Baca juga:

Hanya saja, implementasi di lapangan masih jauh panggang dari api. Sederet peraturan yang ideal itu seolah menjadi macan kertas, tak berdaya menghadapi realitas dan budaya lama yang mengakar kuat.

Sebagai misal, dalam Pergub Nomor 77/ 2020 diatur soal Bidang Pengelolaan Sampah di setiap RW, yang bertugas memimpin pengelolaan sampah oleh setiap rumah tangga di tingkat RW.

Masalahnya, berdasarkan seorang RW yang juga aktivis Bank Sampah di FGD kami, mereka tidak pernah dibekali pelatihan yang memadai dan pendampingan.

Dalam UU itu juga diatur soal strategi pengurangan dan pengelolaan sampah lewat Bank Sampah dan Santama. Pada kenyataannya, menurut testimoni para aktivis yang terlibat dalam bank sampah, mereka bekerja nyaris tanpa dukungan pemerintah.

Padahal, di dalam Perda nomor 3/2013, ada ketentuan soal pemberian insentif, baik fiskal maupun non-fiskal, kepada masyarakat maupun organisasi yang berhasil melakukan pemilahan dan pengelolaan sampah.

Faktanya, ada beberapa bank sampah yang terpaksa harus merogoh kocek sendiri demi memberi insentif kepada rumah tangga yang aktif di bank sampah.

Harapan pada Pram-Doel

Saya termasuk orang yang terpanggil untuk memilih Pramono Anung-Rano Karno di Pilkada Jakarta, bahkan terlibat dalam struktur relawan pemenangan, karena mereka membawa pendekatan baru untuk membangun Jakarta: mau mendengar dan menyelesaikan masalah dari bawah.

Saya sangat berharap, pendekatan itu ia gunakan untuk menangani persoalan sampah di Jakarta. Ia tak hanya fokus di hulu, tetapi mengedepankan pengelolaan sampah berbasis warga.

Pertama, ia akan menegakkan dan memperkuat Perda maupun Pergub terkait pengelolaan sampah yang bertumpu di hulu dan berbasis warga.

Baca juga:

Kedua, memaksimalkan pengelolaan sampah berbasis RT/RW dengan dukungan fasilitas, pelatihan, anggaran, dan pendampingan terus-menerus.

Setiap RW di Jakarta minimal punya satu bank sampah. Kemudian, setiap kelurahan di Jakarta bisa punya TPS 3R untuk memaksimalkan pengelolaan sampah.

Ketiga, mengalihkan sebagian anggaran sampah di DKI Jakarta (yang selama ini bertumpuk di hilir) untuk menjadi insentif bagi rumah tangga maupun gerakan warga (Bank Sampah dan Santama). Insentif ini bisa berbentuk uang, token listrik, minyak goreng, dan lain-lain.

Beberapa kota di Kolombia, seperti Bogota dan Medellin, menggunakan mesin Ecobot atau Reverse Vending Machine untuk mengaktivasi semangat warga terlibat dalam gerakan daur ulang sampah, terutama anorganik.

Jadi, orang memasukkan sampah anorganik ke mesin, lalu mendapat imbalan berupa uang atau voucher belanja.

Terakhir, demi mengurangi dan memaksimalkan gerakan 3R, maka perlu mempertimbangan kebijakan “Pay-As-You-Throw” (PAYT) untuk warga yang tidak menjadi nasabah bank sampah.

Dengan sistem ini, ada konsekuensi biaya bagi sampah residu yang tidak terpilah, sehingga mendorong semua pihak untuk berpartisipasi dalam ekonomi sirkular.

Jika pengelolaan sampah berbasis warga bisa berjalan, ini tak hanya mengubah paradigma pengelolaan sampah, tetapi juga menciptakan kesadaran dan budaya baru bagi warga Jakarta dalam mengelola sampah: lebih disiplin, lebih bertanggung-jawab, lebih ramah lingkungan, dan lebih produktif.

Ini bisa menjadi modal besar bagi Jakarta untuk menjadi kota global dan berbudaya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita EDA WEB WhatsApp Channel : . Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Sumber : Kompas