
DALAM “Exploring China: A Culinary Adventure”, kemajuan ekonomi sebuah bangsa dapat diintip lewat sejarah dan pencapaian kuliner mereka.
Dua chef beda generasi, Ken Hom dan Ching He Huang, melakukannya dengan menelusuri China dari ujung Timur ke Barat negeri itu.
Ken Hom membawa penonton mengintip bagaimana bebek Peking dipilih, dibawa ke restoran, dan lalu dipisahkan daging dengan kulitnya.
Bumbu yang mengolesi bebek Peking sudah berusia 700-an tahun, kira-kira sejak Dinasti Yuan bertakhta.
Kem Hom berseloroh, “aku sudah makan bebek Peking di banyak tempat di seluruh dunia. Tapi di sinilah (Beijing) yang paling lezat.”
Beralasan karena dimasak di rumah asalnya, oleh koki yang mempertahankan resep kuno yang telah melintasi abad.
Selepasnya Ken Hom mengajak penonton mencicipi sayap ayam (chicken wing). Tentu bukan makanan cepat saji, tapi dimasak dengan resep khas China: Dilumuri kecap dan rempah-rempah.
Baca juga:
Gelora modernitas yang berkibar-kibar di China ternyata menarik pula khasanah tradisional yang tertanam kuat di rahim budaya mereka.
Dengan kemajuan ekonomi yang dicapai negerinya, kini warga China tak lapar lagi. Menu makanannya makin beragam.
Sebaliknya, sekarang, China harus bertarung dengan kemajuan yang diperolehnya: Melawan obesitas penduduknya yang meningkat tajam.
Padahal di awal 1970-an, mayoritas penduduk China hanya makan nasi ditambah sedikit sayuran. Waktu itu daging sesuatu yang mewah.
Satu dekade sebelumnya, kira-kira 1961 (zaman Mao Zedong), sejarah China lebih muram lagi saat 30-an juta rakyatnya mati karena .
Dari mana awal mula petualangan manusia lepas dari kelaparan? Adakah ini memberi pijakan untuk mewujudkan ?
Thomas Hager lewat buku “The Alchemy of Air” membocorkan, semua itu bermula dari musim gugur dua abad silam, tepatnya tahun 1898, di gedung pergelaran musik di Bristol, Inggris.
Waktu itu, Sir William Crookes menyampaikan pidato pengukuhannya sebagai Ketua British Academy of Sciences (BAS) yang baru.
“Inggris dan semua bangsa yang memiliki peradaban sedang berada di ambang kehancuran,” cetus Crookes.
Seandainya tidak ada upaya yang segera, lanjut Crookes, tak lama lagi akan banyak manusia yang mengalami kelaparan sampai mati.
Tak ayal bayangan pesimisme Thomas Robert Malthus berkelebat di ruangan itu. Malthus, pakar demografi Inggris seabad sebelumnya (1798) mencetuskan nubuat yang sohor: Populasi manusia yang melaju cepat akan mengalahkan pasokan makanan.
Hal itu imbas dari makin pedulinya masyarakat terhadap kebersihan dan kesehatan. Di lain pihak, tanah terbatas, luas lahan yang dapat ditanami di bumi terbatas.
Kesuburan tanah yang diolah berulang-ulang bisa merosot dan akhirnya tak bisa menyanggah tanaman. Walhasil pasokan makanan terancam.
Baca juga:
Solusi Crookes brilian: Ciptakan pupuk dalam jumlah besar. “Ahli kimia harus terjun sebagai penyelamat…dan menangguhkan hari bencana kelaparan ke titik yang sejauh-jauhnya,” kata Crookes.
Itulah awal mula pencarian masif manusia terhadap nitrogen. Zat hara terpenting dalam campuran pupuk yang menyuburkan tanaman ada tiga, yakni Nitrogen (N), fosfor (P) dan kalium (K).
Nah, atom-atom nitrogen terikat dalam protein DNA dan RNA setiap sel tumbuhan (dan hewan). Padahal kehidupan mustahil tanpa nitrogen.
Runyamnya ketersediaan nitrogen menjadi pembatas dan menentukan berapa banyak pertumbuhan terjadi. Nitrogen menentukan hasil panen. Sudah begitu tak sembarang nitrogen bisa digunakan oleh tanaman (dan tumbuhan).
Nitrogen di atmosfer tak bisa langsung dikonsumsi. Tumbuhan memerlukan nitrogen terikat atau terfiksasi.
Tak pelak lagi manusia mesti bergelut untuk mencari cara mengikat nitrogen dari atmosfer. Pupuk alami dari tumpukan guano (kotoran) burung di Kepulauan Chincha, Peru dianggap tak mencukupi.
Begitu pula nitrat dari Chile, salitre—sejenis natrium nitrat—di Iquique, atau di Gurun Tarapaca, dan Atacama.
Sosok jenius bernama Fritz Haber, lalu mengibarkan bendera optimisme. Menurutnya, nitrogen bisa diproduksi secara massal.
Haber lahir di komunitas Yahudi, kota Breslau, dulu bagian timur Jerman, sekarang menjadi Wroclaw, Polandia.
Dalam darahnya menggelegak semangat untuk berbakti kepada negaranya, Jerman. Dan sains, bagi Haber, adalah saudara kembar kebanggaan nasionalnya.
Baca juga:
Pada 6 Maret 1908, Haber meneken kontrak dengan BASF, perusahaan kimia di Jerman. Setahun berselang Haber bikin decak kagum.
Dia dan timnya menemukan cara jitu memproduksi amonia dari udara: Menaruh logam rapuh hitam kebiruan bernama osmium dalam mesin percobaan. Osmium berperan sebagai katalisator.
Di ruang reaksi bertekanan tinggi, osmium yang telah dipanaskan membantu mengalirkan nitrogen dan hidrogen. Amonia yang dihasilkan pun melonjak.
Temuan itu diulang-ulang. Hasilnya ternyata cukup banyak untuk diterapkan dalam skala industri. Cikal bakal penaklukan manusia terhadap nitrogen di atmosfer pun dimulai.
Namun, eksprimen Haber tak langsung berbuah produksi nitrogen. Di intern BASF, temuan Haber masih diragukan. Carl Bosch, ahli kimia BASF, lalu membantu menemukan cara untuk memproduksinya secara massal.
Pendek kata, mesin Haber kemudian sanggup mengubah nitrogen di atmosfer menjadi amonia. Lantaran jumlah nitrogen di udara tidak ada habisnya, jumlah amonia (dengan demikian juga pupuk) yang bisa diproduksi pun tak ada habisnya.
Sejak itu Jerman memutus ketergantungan terhadap nitrogen alami dari Chile. Haber dan Bosch menjadi “penyelamat” bangsa manusia dari ancaman kelaparan.
Untuk menghormati sintesis amonianya, pada November 1919, Haber diganjar Nobel dalam ilmu kimia.
Cerita tentang nitrogen sempat kelam tatkala Perang Dunia I meletus (1914-1918). Waktu itu, militer Jerman tak hanya menguras nitrat yang diimpor dari Chile, tapi juga menyasar BASF untuk membantu menyediakan nitrat putih (saltpeter) yang digunakan sebagai bahan peledak.
Akibatnya tak terperi ketika politik merampas inovasi manusia. Dalam dua perang dunia, bahan peledak dan mesiu ikut menyumbang atas terbunuhnya jutaan manusia.
Saat ini, pabrik Haber-Bosch raksasa “minum” udara dan mengubahnya menjadi amonia dan menghasilkan pupuk yang berlimpah untuk kebutuhan pertanian.
Tonggak tadi memberi jalan pada kegiatan pertanian di segala penjuru benua untuk menopang populasi manusia yang terus melonjak. Proyeksi PBB menyebut populasi manusia telah menembus 8,2 miliar jiwa tahun 2024 lalu.
Walau begitu, dunia belum bebas dari kelaparan. Data organisasi kesehatan dunia, WHO, menyatakan sekitar 733 juta orang masih berjibaku dengan kelaparan di tahun 2023. Itu artinya satu dari sebelas orang penduduk bumi masih dililit kelaparan.
Negeri kita tidak baik-baik saja. Skor indeks kelaparan global (HGI) Indonesia sebesar 16,9 persen sehingga menempati peringkat 77 dari 127 negara di dunia yang dililit tingkat kelaparan tertinggi (Tempo.co, 6 November 2024).
Skor HGI mengacu pada kekurangan gizi, stunting atau tengkes pada anak, berat badan anak yang kurang serta kematian anak.
Apakah data ini yang memicu Presiden Prabowo Subianto mengobarkan target swasembada pangan? Benarkah pembukaan lahan seluas 1,8 juta hektare di Merauke, Papua Selatan untuk program food estate (lumbung pangan) manjur untuk mewujudkan cita-cita swasembada pangan?
Satu hal yang dapat dipetik dari “The Alchemy of Air” dari Thomas Hager: Kekhawatiran William Crooke di abad 19 telah menggedor umat manusia untuk menemukan nitrogen (pupuk buatan/kimia/anorganik) sehingga produksi pangan dapat ditingkatkan dari kegiatan pertanian. Dari khawatir, kita kenyang.
Namun, penemuan nitrogen (pupuk buatan) juga tak boleh digunakan semau-maunya. Revolusi hijau di paruh kedua abad 20, dekade 1960-1970, yang memanjakan petani agar menggunakan pupuk buatan atau pupuk kimia secara intensif telah meninggalkan luka: Tanah, air dan udara tercemar. Dus menyemburkan gas rumah kaca.
Soeharto, Susilo Bambang Yudhoyono hingga Joko Widodo terbukti gagal ketika menjalankan program food estate atau lumbung pangan.
Apakah kekhawatiran Prabowo atas kondisi pangan dalam negeri akan berbuah kenyang buat rakyatnya (alias swasembada pangan)?
Sejarah menunjukkan pertanian kolosal di satu lokasi dengan sistem monokultur, sering kali lebih manis di atas kertas. Terlebih jika itu dimulai dengan membabat hutan (Tempo.co, 29 Desember 2024).
Lebih elok jika swasembada pangan itu bertumpu pada pertanian rakyat. Tumbuhkan lagi semangat rakyat untuk bertani (berprofesi sebagai petani), redistribusi lahan kepada petani gurem–itu dia rumah tangga petani yang memiliki lahan kurang dari setengah hektare.
Mereka ini soko guru atau aktor yang terlupa dan dilupakan, terutama setelah Indonesia mencapai swasembada pangan (beras) tahun 1984 dan Soeharto lengser dari kursi presiden tahun 1998 silam.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita EDA WEB WhatsApp Channel : . Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.
Sumber : Kompas