Mengapa Rasa Pedas Cabai Tidak Seragam?

  

EDA WEB – Bagi para pencinta makanan pedas, sensasi “terbakar” yang ditimbulkan oleh cabai adalah kenikmatan tersendiri. Namun, siapa sangka bahwa pedasnya cabai bisa begitu membingungkan? Terkadang, cabai yang seharusnya hanya “sedang” malah terasa membakar lidah, sementara yang terkenal super pedas terasa tak seberapa. Kini, para ilmuwan akhirnya menemukan jawabannya.

Untuk mengukur tingkat kepedasan cabai, kita mengenal —sebuah sistem yang telah ada sejak tahun 1912, diperkenalkan oleh apoteker asal Amerika, Wilbur Scoville. Sistem ini menilai tingkat kepedasan berdasarkan jumlah capsaicinoid, terutama capsaicin dan dihidrocapsaisin, yakni senyawa aktif yang menyebabkan rasa pedas.

Contohnya, paprika (bell pepper) memiliki 0 Scoville Heat Units (SHU), sedangkan Carolina Reaper bisa mencapai 2,5 juta SHU. Namun rekor dunia saat ini dipegang oleh Pepper X dengan tingkat kepedasan luar biasa: 2.693.000 SHU—setara semprotan pengusir beruang!

Namun, metode ini ternyata belum sempurna. Selain ketergantungan pada panel pengecap yang subjektif, bahkan teknologi modern seperti kromatografi cair berperforma tinggi (HPLC) pun belum sepenuhnya menjelaskan mengapa dua cabai dengan kadar capsaicin sama bisa terasa sangat berbeda di lidah.

Baca juga:

Menguak “Senjata Anti-Pedas”

Untuk menyelidiki lebih lanjut, tim peneliti dari Ohio State University menganalisis 10 jenis cabai berbeda seperti serrano, Scotch bonnet, dan Chile de árbol. Mereka mengekstrak bubuk cabai, lalu mencampurnya ke dalam jus tomat pada kadar 800 SHU—setara cabai Cubanelle, dan lebih ringan dibanding poblano.

Menariknya, meskipun seluruh sampel memiliki kadar capsaicin dan dihidrocapsaisin yang sama, para pengecap melaporkan tingkat pedas yang sangat beragam. Artinya, ada faktor lain yang memengaruhi persepsi rasa pedas selain dua senyawa utama itu.

Lewat analisis lanjutan menggunakan teknologi seperti pencitraan resonansi magnetik nuklir (NMR), para ilmuwan menemukan lima senyawa alami tambahan yang mungkin turut bermain. Setelah uji rasa lanjutan, tiga senyawa terbukti bisa mengurangi sensasi pedas: capsianoside I, roseoside, dan gingerglycolipid A.

Yang menarik, ketiganya tidak memberi rasa khusus saat dicampurkan ke dalam air, dan efek reduksi pedasnya tidak bekerja secara sinergis—masing-masing bekerja secara independen.

Baca juga:

Dari Dapur hingga Dunia Medis

Penemuan ini bukan hanya menarik bagi para koki, tetapi juga menjanjikan untuk masa depan industri makanan dan farmasi. Devin Peterson, penulis utama studi ini, mengatakan: “Penemuan ini memungkinkan kita menyesuaikan profil rasa pedas sesuai keinginan, atau bahkan menciptakan bahan dapur rumah tangga yang bisa mengurangi rasa pedas berlebih—semacam anti-pedas.”

Lebih jauh lagi, senyawa-senyawa ini berpotensi digunakan dalam bidang medis, misalnya untuk menciptakan obat pereda nyeri non-opioid yang lebih aman. Jika rasa nyeri bisa dikurangi seperti rasa pedas, maka kemungkinan ini sangat menjanjikan.

Pada akhirnya, penelitian ini mengingatkan kita bahwa hanyalah panduan kasar. Rasa pedas tetap subjektif dan bisa dipengaruhi banyak faktor kimiawi. Jadi, jika suatu saat cabai favorit Anda pedasnya terasa tidak konsisten, mungkin tubuh sedang merasakan dampak dari salah satu “senjata anti-pedas” alami.

Baca juga:

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita EDA WEB WhatsApp Channel : . Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Sumber : Kompas