
PADA tulisan sebelumnya telah dibahas mengenai badai pemutusan hubungan kerja (PHK) yang terjadi sejak awal tahun 2025.
Kondisi ini diperkirakan masih akan berlanjut, terutama di tengah ketidakpastian perekonomian global yang terus membayangi.
Beberapa lembaga internasional menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi. Salah satu alasannya adalah kebijakan ekonomi Presiden Amerika Serikat Donald Trump pada periode keduanya yang memicu ketidakpastian global.
Berbagai kebijakan yang memicu perang dagang memang membuat kita semua menjadi waspada.
Di tengah situasi ini, diharapkan dapat menjadi salah satu strategi untuk menekan angka pengangguran.
Baca artikel sebelumnya:
Namun, pertanyaan penting yang perlu diajukan adalah, apakah job fair benar-benar efektif dalam mengurangi tingkat pengangguran?
Evaluasi menyeluruh terhadap pelaksanaan job fair menjadi hal yang sangat penting. Evaluasi ini perlu mencakup penilaian dari dua sisi, yakni perusahaan sebagai penyedia lapangan kerja dan pencari kerja sebagai pihak yang dituju.
Evaluasi lanjutan
Tak hanya itu evaluasi pada saat pelaksanaan job fair, kita perlu melakukan tindak lanjut berupa survei lanjutan.
Survei lanjutan dapat dilakukan dalam jangka waktu tertentu, misalnya, enam bulan atau satu tahun setelah job fair dilaksanakan.
Jika survei pertama fokus pada aspek administratif dan logistik pelaksanaan acara, maka survei lanjutan (survei akhir) dapat diarahkan untuk mengevaluasi aspek yang lebih substantif.
Sebagai contoh, kita perlu mencari tahu seberapa banyak peserta yang berhasil mendapatkan pekerjaan melalui job fair.
Perlu dicatat bahwa proses rekrutmen pada dasarnya tidak dapat diselesaikan secara tuntas dalam satu rangkaian acara job fair.
Dalam praktiknya, perusahaan umumnya akan melakukan tindak lanjut pasca-acara, yang mencakup berbagai tahapan seleksi lanjutan seperti wawancara mendalam, tes psikologi, tes kemampuan, hingga pemeriksaan latar belakang (background check) terhadap kandidat.
Meskipun sebagian perusahaan memang memfasilitasi wawancara langsung di lokasi (walk-in interview), proses tersebut biasanya hanya menjadi tahapan awal.
Dalam banyak kasus, satu kali wawancara saja belum cukup untuk menentukan kelulusan kandidat dalam proses rekrutmen.
Baca juga:
Keputusan untuk menerima seorang kandidat secara langsung di lokasi job fair akan sangat berisiko, terutama jika tidak didahului oleh proses seleksi yang menyeluruh.
Oleh karena itu, sebagian besar perusahaan yang mengikuti job fair lebih memilih untuk menjadikan job fair sebagai langkah awal untuk menjaring kandidat potensial, yang kemudian ditindaklanjuti melalui proses rekrutmen yang lebih lengkap dan terstruktur.
Pertanyaan berikutnya yang penting untuk diajukan adalah: bagaimana tindak lanjut dari seluruh aplikasi yang masuk selama pelaksanaan job fair?
Sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak perusahaan tidak memberikan notifikasi kepada pelamar yang tidak lolos dalam proses seleksi.
Dalam konteks job fair, misalnya, ketika seorang pencari kerja telah menyerahkan daftar riwayat hidup (curriculum vitae), tentu tidak semua akan lanjut ke tahap berikutnya.
Namun, kenyataannya, mayoritas dari mereka tidak pernah menerima kabar apa pun dari perusahaan, apalagi umpan balik.
Salah satu alasan yang sering dikemukakan adalah tingginya beban kerja yang harus ditanggung tim rekrutmen untuk menyeleksi ratusan, bahkan ribuan pelamar.
Akibatnya, pencari kerja tidak mendapatkan kepastian serta kehilangan kesempatan untuk belajar dari proses seleksi.
Pertanyaan lanjutan yang juga penting untuk dievaluasi adalah: sejauh mana tingkat kesesuaian antara ekspektasi perusahaan dengan kualitas peserta yang direkrut melalui job fair?
Pada prinsipnya, perusahaan tentu menginginkan kandidat yang memiliki kualifikasi sesuai dengan kebutuhan posisi yang ditawarkan. Namun, dalam banyak kasus, terdapat kesenjangan antara kompetensi pencari kerja dan kualifikasi yang dibutuhkan.
Fakta ini menunjukkan bahwa sistem pendidikan dan pelatihan di Indonesia belum sepenuhnya mampu menjawab kebutuhan perusahaan.
Oleh karena itu, evaluasi job fair harus mencakup aspek kesesuaian ini. Apakah peserta yang hadir benar-benar memenuhi kriteria yang dicari perusahaan? Seberapa besar mismatch yang terjadi?
Pertanyaan-pertanyaan ini dapat dijawab melalui pendekatan berbasis data, misalnya, melalui survei terstruktur terhadap perusahaan peserta job fair.
Dengan pendekatan semacam ini, evaluasi tidak hanya akan menghasilkan masukan konkret untuk pembenahan sistem pendidikan dan pelatihan kerja, tetapi juga memperkuat kredibilitas pernyataan publik dari kementerian terkait.
Pernyataan yang berbasis data dan evaluasi akan lebih akurat, dapat dipertanggungjawabkan, serta memberikan arah kebijakan yang lebih tepat sasaran.
Baca juga:
Sebagai penutup, perlu ditekankan bahwa penyelenggaraan job fair sebaiknya tidak berdiri sendiri, melainkan dilengkapi dengan pendekatan kebijakan lainnya.
Jangan sampai job fair hanya menjadi kegiatan formalitas, di mana perusahaan merasa “dipaksa” untuk membuka stand, padahal sebenarnya tidak sedang membutuhkan tenaga kerja.
Mengumpulkan berbagai perusahaan di satu lokasi memang efisien dari sudut pandang pencari kerja, dengan catatan bahwa latar belakang pelamar relatif seragam dan jenis posisi yang ditawarkan juga sejenis.
Jika karakteristik pelamar dan jenis lowongan yang tersedia selaras, maka job fair akan jauh lebih efektif. Perusahaan pun akan lebih terdorong untuk berpartisipasi karena memiliki peluang lebih besar untuk menemukan kandidat yang sesuai dengan kebutuhan mereka.
Misalnya, job fair yang khusus diadakan untuk merekrut posisi Management Trainee (MT) yang khusus untuk lulusan program sarjana dengan maksimal beberapa tahun pengalaman bekerja.
Atau job fair khusus untuk merekrut tenaga keamanan dari berbagai perusahaan.
Dengan job fair yang lebih terklasifikasi sesuai dengan kebutuhan, maka akan menjadi insentif bagi perusahaan untuk ikut berpartisipasi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita EDA WEB WhatsApp Channel : . Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.
Sumber : Kompas