
BEBERAPA waktu lalu, saya menghadiri diskusi bertajuk “How Can We Define ?” yang diselenggarakan Jakarta Future Festival.
Hadir sebagai pembicara adalah Hilmar Farid dan JJ Rizal, dua sejarawan yang punya perhatian mendalam terhadap perjalanan kota ini.
Dalam forum itu, sejarah Jakarta dibentangkan dari era Sunda Kelapa hingga masa kini.
Yang menarik, diskusi tersebut tak sekadar memetakan peristiwa, tapi juga mempertanyakan: mengapa kota ini selalu terasa seperti proyek yang tak pernah selesai?
Hilmar mengajak kami melihat Jakarta dari dua tipe pendatang: trekkers dan blijvers.
Trekker adalah mereka yang datang hanya untuk mencari uang, lalu pergi ketika tugasnya rampung.
Kota ini, kata Hilmar, dibentuk oleh logika para trekker—transaksional, dangkal, dan minim kepedulian terhadap keberlanjutan.
Baca juga:
Sementara blijvers adalah mereka yang menetap, yang tak sekadar tinggal, tapi juga tumbuh dan membangun rasa memiliki.
Belanda membangun Batavia sebagai kota para trekker—bukan rumah, melainkan tempat singgah. Maka jangan heran jika Jakarta tumbuh tanpa perencanaan jangka panjang, tanpa empati terhadap lanskap dan warganya.
Sunda Kelapa, jauh sebelum dikenal sebagai Batavia atau Jakarta, adalah pelabuhan penting yang menjadi simpul perdagangan internasional.
Di sini rempah-rempah, kain, dan komoditas lainnya berpindah tangan. Kapal dari Gujarat, Tiongkok, Arab, dan Nusantara bersandar berdampingan.
Ia turut membentuk karakter kota pelabuhan yang kosmopolitan, cair, dan terbuka terhadap persilangan. Namun, juga rapuh terhadap penetrasi konflik kuasa.
Jakarta pernah bernama Jayakarta yang kurang lebih bermakna sebagai kemenangan yang sempurna. Dari sana kita belajar bahwa identitas kota ini sejak awal adalah perlawanan, bukan tunduk.
Setelah berganti nama menjadi Batavia, kota ini dirombak jadi simbol kuasa kolonial: segregatif, eksploitatif, elitis.
Ia memisahkan manusia berdasarkan warna kulit dan jenis pekerjaan. Tata ruangnya dibentuk bukan untuk keadilan, melainkan kontrol.
Ironisnya, sisa-sisa itu masih terasa. Pemisahan antara “pusat” dan “pinggiran” bukan sekadar istilah geografis—itu juga politik ruang, dan Jakarta belum benar-benar sembuh darinya.
Setelah kemerdekaan, Jakarta diangkat sebagai ibu kota republik. Soekarno menanam mimpi di kota ini—Monas, Gelora Bung Karno, jalan protokol.
Baca juga:
Namun, pembangunan itu juga menyisakan luka: kampung-kampung direlokasi, kawasan tradisional dirombak atas nama kemajuan.
Di era Orde Baru, kota ini makin menancapkan dirinya sebagai simbol sentralisasi kekuasaan dan ekonomi. Pembangunan dipusatkan di sini dan ditentukan dari sini pula.
Pasca-Reformasi, Jakarta membuka sedikit pintu. Demonstrasi tumpah di jalan, tatanan politik kita yang otoritarian seketika diruntuhkan oleh masifnya perlawanan rakyat.
Namun hari ini, ruang itu kembali menyempit. Kekerasan tidak selalu hadir dalam bentuk pentungan. Ia bisa berupa penggusuran tanpa dialog, bisa berupa diamnya pemerintah terhadap keluhan warga, atau bentuk lain yang lebih rapi: pembatasan, pembungkaman, pengabaian.
Inklusivitas masih menjadi kata kosong yang dipajang di brosur. Kota ini masih kasar kepada yang tak punya.
Akses terhadap hunian, ruang terbuka, transportasi layak—semuanya masih ditentukan oleh seberapa besar daya beli, bukan kebutuhan dasar.
Jakarta belum belajar dari sejarahnya. Ia masih menyukai ketimpangan, seolah itu bagian dari jalan takdir kota ini.
Di sinilah kita menyadari bahwa sejarah Jakarta tidak pernah berjalan linear seperti janji para modernis: bahwa waktu akan membawa kemajuan, dan kemajuan akan membawa keadilan.
Yang terjadi justru sebaliknya—sejarah kota ini bergerak dalam potongan-potongan, penuh jeda dan loncatan, seperti film lama yang gulungannya sering kusut.
Tak ada kesinambungan, hanya lapisan-lapisan proyek ambisius yang tak sempat benar-benar menyejahterakan.
Kota ini menjadi semacam palimpsest urban—dibangun, dihapus, dan ditulis ulang, tapi selalu dengan tangan yang tak sama dan kepentingan yang tak pernah merata.
Kita perlu bertanya ulang: kota ini dibangun untuk siapa? Untuk mereka yang punya kapital dan kuasa? Ataukah juga untuk jutaan warga yang menapaki aspal dengan langkah cemas, tapi tetap setia berharap?
Jakarta tak akan pernah menjadi kota yang adil jika ia terus memilih diam terhadap yang tersisih.
Baca juga:
Namun, Jakarta bisa berubah karena politik. Sebab pada akhirnya, tata kelola dan perencanaan politik adalah hasil dari pilihan politik. Dan politik, kalau ia sungguh mendengar, bisa menjadi alat untuk merawat, bukan mengusir.
Jakarta adalah kota yang belum selesai. Namun, justru dalam ketidaksempurnaan itu, ia punya ruang untuk tumbuh, untuk menebus yang dulu diabaikan, dan untuk menjadi lebih adil dari sebelumnya.
Yang kita butuhkan bukan hanya beton dan jalan tol, tapi political will yang berpihak pada hidup yang setara—dimulai dari hal yang paling dasar: mendengar warganya, dan menjadikannya pusat dari segala rencana.
Harapan rakyat tidak pernah lahir dari bangunan tinggi, tapi dari keberanian untuk mengakui kesalahan dan merajut kembali kota ini agar tak hanya jadi milik segelintir, tapi rumah bagi semua.
Sebentar lagi, Jakarta akan memasuki usia 500 tahun—usia yang panjang untuk sebuah kota. Ini momentum langka, dan mungkin terakhir, bagi generasi kita untuk memaknai ulang arah kota ini: apakah ia akan terus dibentuk oleh logika para trekker yang datang dan pergi, atau mulai dirawat oleh para blijvers yang ingin tinggal dan menanam masa depan.
Jakarta tak hanya sedang menunggu infrastruktur baru, ia juga perlu menunggu imajinasi politik yang berani merestorasi ingatan, menyulam keberagaman, dan menanamkan rasa percaya bahwa kota ini bisa menjadi ruang yang adil untuk semua.
Karena sebuah kota tak akan pernah selesai ditafsirkan. Tapi setidaknya, ia bisa diperjuangkan untuk menjadi lebih ramah, lebih setara, dan mencipta sejarahnya sendiri.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita EDA WEB WhatsApp Channel : . Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.
Sumber : Kompas