
HARI ini kita dihadapkan kembali dengan ironi pendidikan di negeri ini. Ironi yang lahir dari wajah kebijakan pendidikan yang selama ini lebih menekankan pendekatan populis ketimbang pendekatan berbasis bukti (evidence-based policy).
Narasi-narasi bombastis seperti “digitalisasi pendidikan”, “transformasi sistem pembelajaran”, hingga jargon-jargon populis yang kerap dijual tanpa kesiapan sistemik, kajian teknokratik, transparansi, dan pengawasan yang berkualitas.
Hasilnya, bukan hanya efektivitas program yang dipertaruhkan, tetapi juga integritas institusi yang hancur pelan-pelan.
Selama ini, jebakan kebijakan populis dalam sektor pendidikan acap kali melahirkan solusi instan yang tidak menyentuh akar permasalahan.
Alih-alih menjadi jembatan keluar dari kemiskinan, pendidikan yang seharusnya menjadi motor penggerak mobilitas sosial justru menjadi lahan empuk “praktik rente” dan penyalahgunaan kewenangan.
Seperti yang pernah diucapkan Lord Acton: “Power tends to corrupt. Absolute power corrupts absolutely”. Kebijakan yang diselimuti jargon-jargon kebaikan publik, tapi tanpa transparansi dan akuntabilitas yang kuat, rentan terjerumus ke dalam pusaran korupsi yang terselubung dan teregulasi.
Baca juga:
Kasus dugaan korupsi pengadaan laptop digitalisasi pendidikan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menjadi preseden baru yang mencoreng wajah dunia pendidikan nasional.
Kejaksaan Agung kini tengah mengusut proyek besar ini yang menggunakan anggaran negara sebesar Rp 9,9 triliun untuk pengadaan laptop berbasis Chromebook dalam kurun waktu 2019-2022.
Laptop-laptop tersebut diklaim telah tersebar di sejumlah satuan pendidikan, termasuk hingga ke daerah-daerah.
Namun, alokasi anggaran sebesar itu patut menjadi perhatian publik. Sebagaimana diungkap Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Harli Siregar, dana pengadaan tersebut terdiri dari dua komponen besar: dana untuk satuan pendidikan sebesar Rp 3,582 triliun dan Dana Alokasi Khusus (DAK) fisik sebesar Rp 6,399 triliun.
Realisasi dana tersebut tersebar di banyak daerah, dan secara teknis menggambarkan keterlibatan berlapis dari pemerintah pusat hingga daerah dalam proyek ini.
Korupsi atas nama digitalisasi
Saya pribadi cukup menjerit melihat keadaan ini. Program yang dikemas dengan nama “digitalisasi pendidikan” kini justru menjadi pintu masuk bagi dugaan praktik korupsi yang nilainya sangat besar.
Bayangkan, Rp 9,9 triliun uang yang seharusnya bisa menyelamatkan jutaan anak bangsa untuk mengakses pendidikan yang layak, meningkatkan kesejahteraan guru yang hingga kini masih tertatih, serta membangun infrastruktur pendidikan di wilayah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar) malah dibelanjakan dalam skema yang berujung pada investigasi penyelewengan.
Kalau kita melihat dari sisi waktu, proyek pengadaan laptop berbasis Chromebook ini dilaksanakan pada rentang 2019 hingga 2022, periode yang bersinggungan langsung dengan masa pandemi COVID-19.
Dalam kondisi krisis global yang memaksa sistem pendidikan bertransformasi secara drastis, pemerintah mendorong digitalisasi sebagai solusi.
Baca juga:
Di masa ketika sekolah ditutup, jutaan siswa kesulitan mengakses pembelajaran daring karena keterbatasan perangkat dan internet, dan ketika guru-guru honorer berjibaku dengan keadaan serba terbatas, justru ada segelintir orang yang menjadikan situasi krisis ini sebagai peluang memperkaya diri.
“Digitalisasi pendidikan” seharusnya menjadi langkah inklusif dan transformatif. Namun ironisnya, proyek ini justru menjadi skema penjarahan anggaran atas nama kebijakan pro-rakyat.
Korupsi tidak akan mungkin dilakukan sendirian, tentu akan ada “kerja sama” dalam arti negatif yang dilakukan untuk mewujudkan korupsi itu.
Jadi, sejak perencanaan sudah anggaran sudah “disetting” sesuai dengan kemauan mereka. Saat pelaksanaan sudah terdapat pihak-pihak terkait lainnya yang akan berhubungan langsung dengan proses Pengadaan Barang dan Jasa (PBJ).
Saat bicara pengawasan sudah ada orang yang sengaja dibayar sehingga pengawasan tersebut hanya sekadar formalitas.
Analisis saya, jika dikaitkan dengan kasus dugaan korupsi ini, maka tidak sedikit pihak yang terlibat dalam dugaan korupsi. Apalagi jika dikaitkan dengan realisasi pengadaan barang ini yang tersebar di berbagai daerah. Artinya pihak-pihak yang terlibat sudah berlapis.
Kalau kita melihat kembali ke belakang, Indonesia Corruption Watch (ICW) sejak 2021 telah mencurigai adanya potensi masalah dalam proyek pengadaan laptop Chromebook oleh Kemendikbudristek.
ICW menilai program ini tidak sesuai dengan kondisi infrastruktur internet di Indonesia yang belum merata dan penyedia teknologi domestik yang terbatas, sehingga berisiko menimbulkan persaingan usaha tidak sehat.
ICW juga menemukan bahwa program ini tidak tercantum dalam sistem informasi pengadaan pada Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) dan minim transparansi, seperti tidak dipublikasikannya daftar sekolah penerima. (Harian EDA WEB, 31/5/2025).
Dari sinilah kita dapat melihat bahwa skandal ini bukan sekadar masalah individu korup, tapi indikasi korupsi sistemik.
Baca juga:
Sistem Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah melalui LKPP sejatinya dirancang untuk mencegah praktik koruptif.
Namun ketika mekanisme ini dimanipulasi, misalnya, melalui price setting sebelum proses pengadaan berlangsung, maka proses ini tidak lagi kompetitif.
Sebaliknya, harga sudah dinegosiasikan “diam-diam” dengan pihak ketiga. Inilah bentuk korupsi terselubung yang teregulasi, yaitu korupsi yang dilembagakan.
Lebih jauh lagi, jika praktik ini melibatkan aktor-aktor kunci negara baik di birokrasi maupun di sektor swasta, maka korupsi ini telah mencapai level state capture corruption: situasi di mana institusi publik direkayasa untuk melayani kepentingan kelompok kecil elite.
Dalam kasus ini, kebijakan publik tidak lagi ditujukan untuk melayani rakyat, melainkan menjadi alat untuk legitimasi dan distribusi rente politik-ekonomi.
Dalam konteks tata kelola pemerintahan, peristiwa ini menunjukkan krisis akuntabilitas dalam sistem pengadaan barang dan jasa pemerintah, terutama di sektor pendidikan.
Mekanisme perencanaan yang tidak transparan, minimnya pengawasan internal dan eksternal, serta lemahnya partisipasi publik dalam proses penganggaran memperbesar peluang terjadinya penyelewengan.
Hal ini diperparah dengan adanya praktik state capture corruption, di mana kepentingan politik dan oligarki ekonomi menyusup ke dalam proses pengambilan kebijakan dan distribusi anggaran.
Kita butuh reformasi menyeluruh dalam tata kelola pengadaan barang dan jasa, bukan hanya terhadap sektor pendidikan, tapi juga sektor-sektor lainnya yang memengaruhi layanan publik dan hajat hidup orang banyak.
Baca juga:
Dimulai dari perencanaan yang berbasis pada evidensi, pelibatan masyarakat dan lembaga independen dalam proses penganggaran, hingga penggunaan teknologi informasi yang terintegrasi dengan prinsip keterbukaan.
Lebih dari itu, kita juga butuh keberanian untuk mengakhiri budaya populisme kebijakan yang hanya mengedepankan citra tanpa substansi.
Sudah saatnya pendidikan tidak hanya menjadi alat propaganda politik atau proyek proyek instan. Pendidikan harus menjadi ruang suci pembangunan karakter bangsa, yang tidak boleh dikotori oleh hasrat korupsi dan kerakusan kekuasaan.
Skandal Rp 9,9 triliun ini bukan sekadar kasus hukum, ini adalah alarm keras bahwa kita sedang kehilangan arah dalam menata masa depan bangsa.
Jika pendidikan saja sudah dikorupsi, maka kita tengah menyaksikan proses pembusukan negara dari dalam.
Terakhir, aparat penegak hukum sudah waktunya semakin gesit dan lincah membereskan korupsi di negara kita yang semakin kronis.
Di tengah banyaknya program yang memakan anggaran ratusan triliun, sudah saatnya penegak hukum dan Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP) bukan lagi sebagai “watchdog”, tapi juga menjadi quality assurance dan consulting, yang harus terlibat aktif membenahi sistem kita yang saat ini sedang tidak sehat.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita EDA WEB WhatsApp Channel : . Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.
Sumber : Kompas