
JAKARTA, EDA WEB – Para guru besar di bidang ilmu kedokteran dan para dekan Fakultas Kedokteran di Indonesia ramai-ramai mengkritik Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin belakangan ini.
Gelombang protes datang dari Universitas Indonesia (UI), Universitas Padjajaran (Unpad), Universitas Negeri Solo (UNS), Universitas Airlangga, dan dari Asosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran Indonesia (AIPKI).
Di Fakultas Kedokteran UI, Lebih dari 100 guru besar menyatakan keprihatinan atas sejumlah kebijakan baru Kementerian Kesehatan. Regulasi itu meliputi soal perubahan tata kelola kolegium, pemisahan fungsi akademik dari rumah sakit pendidikan, dan restrukturisasi dengan institusi pendidikan setelah penetapan RS Pendidikan Utama.
Perwakilan Guru Besar FK UI Siti Setiati mengatakan, ada beberapa aturan pemerintah yang berpotensi menurunkan mutu pendidikan dokter dan dokter spesialis.
Hal itu, kata dia, berdampak langsung pada kualitas pelayanan kesehatan masyarakat.
“Kini kami prihatin karena kebijakan kesehatan nasional saat ini menjauh dari semangat kolaboratif tersebut,” kata Siti di Gedung FKUI, Salemba, Jakarta Pusat, Jumat (16/5/2025).
Baca juga:
Menurut Siti, para guru besar menilai bahwa alih-alih memperkuat mutu layanan dan pendidikan, pemerintah justru membuat kebijakan yang menurunkan kualitas pendidikan dokter dan dokter spesialis.
Padahal, pendidikan dokter bukanlah proses sederhana, melainkan perjalanan akademik panjang yang hanya dapat terwujud melalui rumah sakit pendidikan yang mengintegrasikan pelayanan, pengajaran, dan penelitian sesuai standar global.
Para guru besar FK UI juga kecewa dengan Kementerian Kesehatan yang tidak menjalankan pemilihan kolegium sesuai Undang-Undang Kesehatan No 17 Tahun 2023.
Guru Besar FKUI merasa kolegium kedokteran kini telah kehilangan independensinya karena adanya perubahan tata kelola yang saat ini berada di bawah Kementerian Kesehatan.
Protes kepada Budi Gunadi juga datang dari para Unpad. Guru Besar FK Unpad membacakan Maklumat Padjadjaran sebagai bentuk kritik terbuka terhadap kebijakan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI yang dinilai mengancam masa depan pendidikan kedokteran dan layanan kesehatan di Indonesia.
Maklumat ini ditujukan langsung kepada Presiden RI, Prabowo Subianto, dan dibacakan secara resmi di lobi Rumah Sakit Pendidikan (RSP) Unpad, Jalan Prof Eyckman, Kota Bandung, pada Senin (19/5/2025).
Melalui maklumat ini, para guru besar FK Unpad meminta Presiden RI Prabowo Subianto mengevaluasi Budi Gunadi dan mengembalikan arah kebijakan kesehatan ke jalur yang menjunjung etika, profesionalisme, serta kolaborasi antarinstitusi.
Baca juga:
Latar belakang keluarnya maklumat ini adalah keprihatinan para akademisi terhadap berbagai kebijakan Menkes yang dianggap menyimpang dari prinsip etik dan sistem pendidikan tinggi nasional.
Dekan FK Unpad, Yudi Mulyana Hidayat, menyampaikan bahwa kebijakan yang tengah diwacanakan dan diterapkan oleh Kemenkes tidak hanya mencederai tata kelola pendidikan kedokteran, tetapi juga berpotensi menghancurkan pilar etik, profesionalisme, dan otonomi keilmuan.
“Kami menyampaikan keprihatinan mendalam atas arah kebijakan Kementerian Kesehatan saat ini,” ujar Yudi saat mengawali pembacaan Maklumat Padjadjaran.
Para dekan FK se-Indonesia juga menyatakan protes kepada Prabowo karena kebijakan yang dilakukan oleh Budi Gunadi.
AIPKI menyurati Presiden Prabowo Subianto terkait polemik kebijakan kesehatan belakangan ini. Pihak AIPKI sudah bersurat kepada Presiden Prabowo sebagai bentuk komunikasi.
Adapun kebijakan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan implementasi Undang-Undang (UU) Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan yang dinilai justru melenceng dari semangat awal reformasi sistem kesehatan.
“Kami dekan-dekan, saya mewakili, itu menyadari bahwa ini sudah akan salah arah. Makanya kita meminta kepada Pak Presiden Prabowo untuk meninjau lagi ini kebijakan-kebijakan Menteri Kesehatan, kebijakan-kebijakan dia,” kata Ketua AIPKI Wilayah II Taufik Fredrik Pasiak dalam acara Salemba Bergerak : Mimbar Bebas Hari Kebangkitan Nasional di Gedung FKUI, Jakarta, Selasa (20/5/2025).
AIPKI, lanjut Taufik, tak ingin mengintervensi soal keputusan Prabowo terkait polemik kebijakan Budi Gunadi. Apalagi jika soal pencopotan Budi Gunadi.
“Soal dia mau diganti atau tidak, itu otoritas Pak Presiden. Kami enggak ingin mencampuri karena mungkin Pak Presiden punya pertimbangan-pertimbangan non-akademis, politis. Kami menghormati tapi tinjau baik-baik kebijakan. Karena itu risiko sangat,” kata Taufik.
Baca juga:
Catatan Kritis para Akademisi
Para guru besar dan para dekan melihat ada sejumlah catatan kritis kepada kebijakan Kementerian Kesehatan terkait soal pendidikan kedokteran.
Berikut keprihatinan para Guru Besar FKUI yang dibacakan oleh Siti.
Pendidikan dokter dan dokter spesialis tidak dapat disederhanakan
Menjadi seorang dokter bukan sekadar menjalani pelatihan teknis, melainkan melalui proses pendidikan akademik yang panjang, ketat, bertahap sesuai filsafat kedokteran yang mendasari layanan kesehatan oleh seorang dokter.
Pendidikan terbaik dilakukan di fakultas kedokteran dan rumah sakit pendidikan yang menjalankan pelayanan dan penelitian sesuai standar global.
2. Penyelenggaraan pendidikan dokter di luar sistem universitas memerlukan kerja sama erat dengan fakultas kedokteran
Tanpa sinergi yang baik, kebijakan ini akan menimbulkan ketimpangan kualitas antar dokter, meningkatkan risiko kesalahan dalam pelayanan medis, dan pada akhirnya merugikan pasien dan masyarakat luas.
3. Pemisahan fungsi akademik dari rumah sakit pendidikan mengancam ekosistem pendidikan kedokteran
Selama ini, dosen yang juga berpraktik sebagai dokter di rumah sakit pendidikan menjalankan peran layanan, pengajaran, dan riset secara terpadu.
Baca juga:
Pemisahan peran ini akan merusak sistem yang sudah berjalan dengan baik dan menurunkan kualitas pembelajaran bagi mahasiswa kedokteran dan dokter muda.
4. Pelayanan kesehatan yang baik hanya dapat diberikan oleh tenaga medis yang dididik dengan standar tinggi
Apabila mutu pendidikan dokter dan dokter spesialis diturunkan, maka kualitas pelayanan kesehatan akan ikut menurun.
Hal ini akan berdampak pada meningkatnya angka kematian ibu dan bayi, prevalensi stunting, kasus TB, serta penyakit tidak menular. Pada akhirnya, rakyatlah yang akan menanggung akibatnya.
5. Koordinasi restrukturisasi dengan institusi pendidikan setelah penetapan RS Pendidikan Utama
Ketika RS Vertikal sudah ditetapkan sebagai RS Pendidikan Utama oleh Kemenkes, maka perubahan struktur termasuk pembentukan Departemen dan mutasi staf medis yang ada harus dikoordinasikan dengan pimpinan institusi pendidikan.
6. Kolegium kedokteran harus dijaga independensinya untuk melindungi mutu dan kompetensi profesi.
Kolegium sebagai lembaga profesi bertanggung jawab menjaga standar kompetensi dan mutu pendidikan dokter dan dokter spesialis di Indonesia.
Kolegium harus tetap mandiri dan bebas dari intervensi kebijakan yang tidak berbasis akademik maupun kepentingan jangka pendek.
Jika peran kolegium dilemahkan, maka akan terjadi degradasi kualitas tenaga medis dan hilangnya kepercayaan publik terhadap profesi kedokteran di negeri sendiri.
Tanggapan Kemenkes
Menanggapi kritik Guru Besar FKUI, Menkes Budi menyatakan bahwa seluruh kebijakan yang dibuat diarahkan untuk kepentingan masyarakat.
Namun, dia menyadari bahwa transformasi kebijakan yang dilakukannya memang menimbukan ketidaknyamanan bagi pihak-pihak tertentu. “Pasti akan terjadi ketidaknyamanan.
‘Loh saya dulu bisa begini, kok sekarang enggak?’ karena bergeser kepentingannya. Kebijakannya dibikin lebih ke kepentingan masyarakat,” ujar Budi, Sabtu (17/5/2025).
Dia pun menegaskan bahwa Kemenkes lebih memperioritaskan 280 juta rakyat Indonesia penerima layanan kesehatan dalam menyusun dan mengeluarkan suatu kebijakan.
Meski begitu, dia memahami bahwa ada banyak pemangku kepentingan dalam lingkup kesehatan, termasuk di antaranya rumah sakit, pabrik obat, organisasi serta profesi.
“Tapi stakeholder yang paling besar yang menerima layanan kesehatan, ini 280 juta (masyarakat). Nah Kemenkes memprioritaskan 280 juta rakyat” ucap Budi. “Saya mau sampaikan, Kemenkes hanya melakukan kebijakan yang berbasis pada kepentingan masyarakat,” pungkasnya.
Baca juga:
Sementara itu, Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes Aji Muharwarman memastikan bawah Kemenkes selalu melibatkan dokter-dokter lulusan FKUI dalam setiap penyusunan kebijakan.
“Termasuk beberapa ketua kolegium yang juga merupakan alumni FKUI yang aktif berdiskusi dengan Kemenkes,” ucap Aji.
Menurut Aji, kebijakan Kemenkes selalu mengutamakan kepentingan masyarakat luas, bukan individu maupun organisai tertentu.
Aji pun mengeklaim, posisi kolegium saat ini justru lebih independen, karena tidak lagi berada di bawah organisasi profesi, tetapi Konsil Kesehatan Indonesia (KKI) yang langsung bertanggung jawab kepada presiden.
“Dengan demikian, kolegium tidak berada di bawah Kemenkes,” jelas Aji.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita EDA WEB WhatsApp Channel : . Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.
Sumber : Kompas