
SEMARANG, EDA WEB – – Pemerintah Kabupaten Jepara didorong bersikap objektif dan tidak hanya merujuk pada suara Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam menyikapi rencana investasi peternakan babi modern senilai Rp 10 triliun.
Desakan itu disampaikan Yayasan Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKIS) menyusul penolakan dari sebagian kelompok masyarakat terhadap investasi tersebut.
Manajer Program LKIS, Tri Noviana, mengatakan persoalan ini semestinya dilihat dari sudut pandang yang lebih luas, yakni analisis objektif mengenai dampak lingkungan hingga faktor keberagaman masyarakat.
“Sebenarnya kan kalau kita bicara konteks Kabupaten Jepara itu kan beragam ya. Memang Islam mayoritas, tetapi ada agama-agama yang lain, misalnya Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, Konghucu, bahkan penghayat kepercayaan juga ada. Dengan total jumlahnya itu lumayan,” kata Noviana melalui sambungan telepon, Selasa (5/8/2025).
Baca juga:
Mengacu pada data Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil), dari total 1.203.687 penduduk Kabupaten Jepara, sebanyak 22.733 orang beragama Kristen, 1.040 Katolik, 432 Hindu, 4.194 Buddha, 5 menganut Konghucu, dan 47 orang penghayat kepercayaan. Sementara umat Islam mencapai 1.255.228 orang.
Menurut Noviana, pemerintah perlu menyusun kebijakan secara inklusif, tidak hanya berdasarkan keberatan dari kelompok mayoritas.
Ia juga menyinggung adanya sistem sertifikasi halal yang sudah mengatur secara jelas agar kebutuhan umat beragama terpenuhi sesuai ajaran masing-masing.
“Kalau kita bicara soal agama, tidak perlu dicampur adukan antara ranah privat maupun kebijakan,” bebernya.
Baca juga:
Ia menyayangkan jika fatwa haram dari MUI dijadikan satu-satunya rujukan oleh pemerintah daerah.
Ia menilai, dalam konteks kebijakan publik yang berdampak lintas agama, referensi semacam itu seharusnya tidak berdiri sendiri.
“Duduklah bareng antara pemerintah kabupaten, provinsi untuk cari solusi bareng yang terbaik. Jadi bukan kemudian menggunakan satu pendekatan dari MUI. Itu kan kewenangan Kemenag kalau kita bicara konteks agama,” lanjutnya.
Noviana juga mendorong Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dan Kementerian Agama (Kemenag) untuk ikut bersuara demi menciptakan harmoni antarumat beragama dalam menyikapi polemik investasi tersebut.
Analisis Harus Objektif
Tak hanya soal toleransi, ia mengingatkan pentingnya kajian menyeluruh terhadap aspek tata ruang dan transparansi investasi.
Menurutnya, potensi dampak terhadap permukiman, letak lokasi, hingga kontribusi pada pendapatan daerah juga harus dibahas secara terbuka.
“Jangan over claim menganggap bahwa kelompok-kelompok agama yang berbeda itu ‘ya sudah ya manut saja’, kan tidak gitu konsepnya,” imbuhnya.
Baca juga:
Noviana menegaskan bahwa alasan penolakan seharusnya didasarkan pada analisis objektif, seperti kelayakan lokasi atau dampak lingkungan, bukan tekanan berbasis fatwa yang hanya merepresentasikan sebagian kelompok.
“Kalau kita bicara soal keadilan maka perwakilan dari agama-agama yang berbeda itu juga diundang. Jadi perspektifnya beragam,” tuturnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita EDA WEB WhatsApp Channel : . Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.
Sumber : Kompas