
DUNIA memang sangat kehilangan setelah meninggal dunia. Namun, masalah tidak sekadar urusan kehilangan semata.
Ekspektasi publik, terutama umat Katolik khususnya dan umat Kristiani pada umumnya, terikat kuat kepada sosok Paus Frasiskus yang “nyata-nyata” memang sangat humanis di satu sisi dan berani berbeda untuk membela kalangan papa di sisi lain.
Lebih dari itu, Paus Fransiskus juga terbilang sangat toleran di dalam pandangan-pandangannya, seiring dengan komitmennya yang sangat kuat pada perdamaian dunia.
Ekspektasi publik Kristiani sedunia sempat menggantung di tengah-tengah proses konklaf di Vatikan, karena paus-paus yang diperkirakan akan menjadi kandidat kuat pengganti Paus Francis memiliki latar dan cerita yang tak sama dengan Paus Fansiskus.
Konklaf kepausan merupakan pertemuan Dewan Kardinal yang bertanggung jawab untuk pemilihan seorang Paus baru.
Pertemuan Dewan Kardinal dalam konklaf kepausan dilakukan dalam pemilihan tertutup di Kapel Sistina, Kota Vatikan.
Para kardinal yang mengikuti konklaf kepausan memberikan suara dan menentukan siapa yang akan menjabat sebagai kepala Gereja Katolik berikutnya pengganti Paus Fransiskus yang telah wafat.
Konklaf pada 7 Mei 2025, menjadi yang terbesar dalam sejarah Gereja Katolik, dengan 133 kardinal elektor dari 252 kardinal yang masih hidup.
Menurut aturan Vatikan, kardinal elektor adalah kardinal yang berusia di bawah 80 tahun ketika dimulainya konklaf kepausan.
Kardinal elektor memiliki hak untuk memilih dan dipilih menjadi seorang Paus, termasuk memilih dirinya sendiri.
Dari Indonesia, Uskup Agung Jakarta Kardinal Ignatius Suharyo menjadi salah satu dari 133 kardinal elektoral dalam Konklaf 2025.
Adapun, untuk terpilih menjadi seorang paus, seorang kardinal harus meraih minimal dua per tiga suara atau 90 dari 135 suara kardinal elektor.
Setelah seluruh kardinal elektor berkumpul di Kapel Sistina, kardinal protodiakon atau kardinal yang paling senior, akan menyerukan kata tradisional “extra omnes!”, yang merupakan frasa Latin untuk “keluar semua,” atau meminta semua yang hadir, kecuali para kardinal elektor, untuk meninggalkan Kapel Sistina untuk memulai proses pemungutan suara.
Memang, hasil akhir dari konklaf pada 8 Mei 2025 di luar prediksi banyak pihak. Ternyata untuk pertama kalinya dalam sejarah pemimpin tertinggi takhta suci Vatikan seorang Kardinal berasal dari Amerika Serikat, yang sebelumnya dikenal dengan sapaan , terpilih untuk menggembalakan 1,4 miliar umat Katolik sedunia.
Paus yang baru ini memilih nama panggilan . Sehingga muncul pertanyaan, akankah cita-cita Paus Leo XIV serupa dengan pendahulunya dan akan terus mengembuskan angin reformasi sosial?
Sebagai seorang gembala yang rendah hati, sederhana, cerdas, dan merakyat, Paus ke – 267 itu nyatanya langsung menyerukan pentingnya perdamaian, berjalan bersama (sinodalitas), dan penghargaan terhadap pendahulunya yang telah berjasa luhur.
Seruan perdana tersebut mencerminkan kehendaknya untuk meneruskan langkah-langkah Paus Fransiskus dalam menanggapi keadaan dunia sekarang tanpa kehilangan khazanah tradisional yang telah berusia 2.000-an tahun.
Dambaan hati terdalam Paus Leo XIV yang memprioritaskan perdamaian ikut menyejukkan dunia yang sedang dilanda pelbagai konflik sosial yang berkepanjangan (Timur-Tengah, Rusia-Ukraina, India-Pakistan).
Paus Leo XIV memberikan pesan perdana sebagai Paus dengan ajakan agar Gereja membangun jembatan berupa dialog dan dengan perjumpaan. Paus juga mendorong penciptaan perdamaian dan membuka hubungan serta keterbukaan di seluruh dunia.
”Umat manusia membutuhkan Dia seperti sebuah jembatan untuk mencapai Allah dan kasih-Nya. Anda membantu kami membangun jembatan dengan dialog dan perjumpaan sehingga kami semua dapat menjadi satu umat yang selalu damai,” kata Paus Leo XIV di balkon Basilika Santo Petrus, Kamis (8/5/2025), sembari mengenang pendahulunya Paus Fransiskus.
Dan boleh jadi, melalui keterpilihan Paus Leo XIV dari Amerika Serikat yang sekaligus pernah bertugas lama di Peru, Amerika Latin itu, adalah juga sekaligus pesan untuk Amerika Serikat di mana kekhawatiran publik atas keterpilihan Donald Trump untuk kedua kalinya sebagai Presiden sangat perlu diimbangi dengan kekuatan moral yang juga mendunia, sekelas Paus Leo XIV.
Artinya, hari ini, Amerika juga masih memiliki sosok besar nan gigantis yang dengan “tulus” menyerukan perdamaian, persatuan, dan dialog, bukan melulu tentang Donald Trump yang kontroversial dan cenderung menciptakan “pembelahan”.
Namun terlepas dari itu, komitmen Paus yang baru untuk terus menggelorakan “komitmen” dan “jejak langkah” Paus Fransiskus memang sangat diperlukan, mengingat perkembangan dunia saat ini, baik secara ekonomi dan geopolitik, maupun secara religius, diakui atau tidak, sedang membutuhkan sosok “seperti” Paus Fransiskus, yang berani berbeda untuk kalangan papa dan berani berdialog dengan semua kalangan di manapun, termasuk kalangan dari agama lain, untuk tercapainya tatanan dunia yang damai dan adil.
Dengan kata lain, berdasarkan fakta dunia saat ini, Paus baru penerus kepemimpinan Paus Fransiskus semestinya juga meneruskan ajaran dan pergerakan dari Paus Fransiskus, bukan Paus yang mengedepankan fanatisme buta yang berpotensi menambah panas situasi dunia saat ini.
Paus yang adem, bijak, arif, dan suka damai seperti Paus Fransiskus, adalah role model yang semestinya dipakai di dalam konklaf sebagai salah satu kriteria utama dalam mendorong dan memenangkan salah satu Paus yang bersaing.
Dalam konteks ekonomi global yang kian “imbalances” antara negara kaya dan miskin dan ekonomi domestik banyak negara yang kian timpang, suara Paus Fransiskus tentang kemiskinan sangat perlu untuk terus digaungkan oleh penerusnya.
Saya sangat yakin, suara dari sosok sekelas Paus akan memiliki banyak pengaruh kepada negara-negara di dunia, tidak saja negara-negara yang memiliki mayoritas penduduk Kristen Katolik, tapi juga kepada negara lain yang tidak terlalu terkait dengan Kristen Katolik.
Lihat saja, pengaruh Paus Fransiskus di China sangat besar. Pemerintahan China sangat menghargai pandangan-pandangan dari Paus Fransiskus dalam banyak hal, tidak hanya soal toleransi beragama, tapi juga terhadap keadilan distribusi ekonomi di China di satu sisi dan permintaannya agar pemerintahan China memperhatikan kepentingan kaum papa di Negeri Tirai Bambu tersebut di sisi lain.
Karena, menurut Paus Fransiskus, urusan ekonomi tidak semata urusan siapa yang mendapatkan kue ekonomi terbanyak, tapi juga terkait langsung dengan masalah hak asasi manusia.
“Human rights are not only violated by terrorism, repression or assassination, but also by unfair economic structures that creates huge inequalities,” ucap beliau pada satu ketika, yang diucapkan dengan raut wajah yang sangat bersahaja dan sejuk di satu sisi dan sangat ikhlas di sisi lain.
Ucapan dan ajaran yang sangat fundamental sekaligus indah ini tentu akan sangat disayangkan jika tidak diteruskan dan digelorakan oleh Paus yang baru. Ajaran semacam ini adalah ajaran yang universal dan kekal, tidak bisa ditolak dengan justifikasi apapun.
Bahkan, saya sangat meyakini, ajaran semacam ini menjadi salah satu ajaran yang membuat tokoh-tokoh agama di luar Kristen sangat “respect” dan “cinta” kepada sosok Paus Fransiskus, sebagaimana yang ditunjukkan dengan sangat “apik” oleh Menteri Agama Indonesia Nasaruddin Umar di saat Paus Fransiskus berkunjung ke Indonesia pada September 2024.
Di negara-negara lain pun, Paus Fransiskus ditempatkan di tempat yang sangat “tinggi” dan “mulia” di tingkat dunia, terutama terkait dengan isu keadilan ekonomi.
Lebih dari itu, ajarannya tak hanya menyasar umat manusia sebagai hamba Tuhan, tapi secara spesifik juga menyasar pada kelas-kelas penguasa di dalam setiap negara di mana Paus Fransiskus dengan tegas meminta mereka untuk meletakkan kepentingan rakyat banyak di posisi prioritas sebelum berbicara kepentingan pribadi dan kepentingan kelompok.
Intinya, menurut Paus Fransiskus, jika pemerintahan tidak mendengarkan rakyatnya dan tidak memilih opini terbaik di antara opini-opini yang beragam (demokratis), maka pemerintahan negara belum layak dianggap sebagai pemerintahan yang baik.
Dan saya juga cukup yakin, ajaran semacam ini banyak memberi pengaruh kepada banyak pemerintahan di dunia, tidak terkecuali pada pemerintahan Joe Biden yang berkuasa di Amerika Serikat hingga tahun lalu.
Biden sangat dipengaruhi oleh ajaran Kristen Katolik di satu sisi dan Paus Fransiskus di sisi lain, yang tergambar dengan jelas di dalam setiap kebijakan kesejahteraan sosial yang diajukan dan disahkan oleh Joe Biden selama empat tahun menjadi presiden negara Paman Sam.
“Every man, every woman who has to take up the service of government, must ask themselves two questions: ‘Do I love my people in order to serve them better? Am I humble and do I listen to everybody, to diverse opinions in order to choose the best path?’ If you don’t ask those questions, your governance will not be good,” ucap beliau.
Dengan kata lain, spektrum ide dan gagasan Paus Fransiskus sangat luas dan universal, tak bisa ditolak dengan justifikasi apapun.
Hal itu menandakan bahwa betapa pedulinya beliau kepada dunia di luar gereja Vatikan di satu sisi dan betapa yakinnya beliau bahwa perdamaian dunia tak bisa dicapai tanpa mendorong terjadinya keadilan ekonomi, baik di tataran internasional maupun di tataran domestik.
Dalam konteks ini, saya sangat sepakat dengan “praises” atau pujian yang diberikan oleh Perdana Menteri Kanada Mark Carney di saat Paus Fransiskus meninggal dunia.
“Through his teachings and actions, Pope Francis redefined the moral responsibilities of leadership in the 21st century,” ucap Mark Carney.
Pernyataan ini menggambarkan betapa berpengaruhnya pandangan-pandangan Paus Fransiskus selama ini, yang mampu meredefinisi tanggung jawab moral pemimpin-pemimpin dunia, tidak hanya pemimpin-pemimpin institusi gereja.
Atas pertimbangan-pertimbangan di atas, saya di sini ingin mengatakan bahwa saat ini, umat manusia, tidak hanya umat Kristiani, memang sangat menunggu hadirnya pengganti Paus Fransiskus, yang bisa meneruskan ajaran-ajarannya di satu sisi dan bisa memberi pengaruh lebih besar lagi kepada pemimpin-pemimpin dunia di sisi lain, terlepas apapun latar belakang religiusnya.
Karena ajaran-ajaran Paus Fransiskus adalah ajaran yang tak diragukan lagi memang memiliki potensi untuk mendatangkan kedamaian dunia, menekan potensi konflik, dan menyejukkan hati para pemimpin dunia agar tidak gegabah dalam bertindak dan bersikap, demi terjaganya perdamaian dunia yang belakangan semakin panas dan tidak menentu ini.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita EDA WEB WhatsApp Channel : . Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.
Sumber : Kompas