5 Kisah Ikonik di Balik Tragedi Bom Hiroshima 6 Agustus

  
5 Kisah Ikonik di Balik Tragedi Bom Hiroshima 6 Agustus

EDA WEB – Pada 6 Agustus 1945, bom atom “Little Boy” dijatuhkan di Hiroshima, menewaskan puluhan ribu orang dalam sekejap.

Pagi itu, sebuah senjata pemusnah massal dijatuhkan untuk pertama kalinya di dunia, menghantam kota Hiroshima, Jepang, dan menyapu bersih kehidupan dalam sekejap.

Ledakan dahsyat tersebut tidak hanya meninggalkan kehancuran fisik, tapi juga luka batin yang tak terbayarkan selama puluhan tahun.

Namun, di balik kabut asap, api, dan kepanikan yang menyelimuti kota, tersimpan banyak kisah yang sulit dipercaya.

Di tengah kematian massal dan kehancuran total, ada orang-orang yang secara tak terduga bertahan hidup dalam kondisi yang nyaris mustahil.

Baca juga:

Kisah ikonik pasca Hiroshima dibom atom

Setelah bom atom dijatuhkan di Hiroshima, muncul berbagai kisah nyata yang mencerminkan keajaiban, duka, dan ketahanan manusia.

Setidaknya, berikut ini lima kisah ikonik pasca pemboman Kota Hiroshima di Jepang pada 6 Agustus 1945:

Baca juga:

1. Keajaiban selamatnya para Pastor Jesuit

Sebagaimana diberitakan National Catolic Register (6/8/2020), di tengah kobaran api dan kehancuran akibat bom atom di Hiroshima, delapan misionaris Jesuit yang berada dekat pusat ledakan, secara luar biasa berhasil selamat.

Meskipun gereja tempat mereka tinggal rusak parah, empat orang di antaranya, yakni Pastor Hugo Lassalle, Wilhelm Kleinsorge, Hubert Schiffer, dan Hubert Cieslik hanya mengalami luka ringan.

Tidak satu pun dari mereka mengalami gangguan pendengaran atau kerusakan serius, meskipun berada sangat dekat dengan pusat ledakan.

Lebih mencengangkan lagi, para imam ini tidak menunjukkan gejala penyakit akibat radiasi.

Para dokter saat itu memperkirakan mereka akan mengalami luka dalam jangka panjang. Namun, lebih dari 200 pemeriksaan medis selama bertahun-tahun menunjukkan bahwa tubuh mereka tetap sehat tanpa tanda-tanda paparan radiasi.

Baca juga:

Keadaan ini membingungkan dunia medis dan ilmiah.

Salah satu dari mereka, Pastor Hubert Schiffer kemudian membagikan kisahnya dalam berbagai kesempatan.

Ia mengingat jelas momen ketika kilatan cahaya menyilaukan muncul, diikuti oleh ledakan besar yang melemparkannya dari kursi saat sarapan.

Baca juga:

Saat sadar, ia melihat seluruh kota hancur rata kecuali dirinya yang hanya terluka ringan di bagian leher akibat serpihan kaca.

Pastor Schiffer menjelaskan, ia dan rekan-rekannya percaya bahwa mereka selamat karena mereka hidup sesuai pesan Fatima dan berdoa Rosario setiap hari.

Ia meninggal dunia pada 27 Maret 1982, menyisakan kisah yang hingga kini masih menjadi sumber kekaguman dan perenungan.

Baca juga:

2. Jam berhenti pukul 08.15

Dilansir dari Huffpost (6/8/2025), saat bom atom meledak di Hiroshima pada pukul 08.15 pagi, Shinji Mikamo sedang bekerja bersama ayahnya di atap rumah.

Ledakan dahsyat yang hanya berjarak 1.500 meter itu melukai tubuhnya, membakar kulitnya, dan membuat matanya nyaris buta.

Baca juga:

Meski luka parah, ia dan ayahnya berhasil menyelamatkan diri di tengah kota yang hancur dan penuh mayat.

Setelah berpisah karena dirawat di rumah sakit darurat, Shinji kembali tiga bulan kemudian ke reruntuhan rumahnya.

Di antara puing, ia menemukan jam saku milik ayahnya, jarumnya telah hancur, tapi panas ledakan mencetak waktu secara permanen, yakni pukul 08.15.

Jam itu menjadi penanda bisu detik kehancuran, seperti ratusan jam lain yang ditemukan berhenti pada waktu yang sama di seluruh Hiroshima.

Namun, bagi Shinji, jam itu juga menjadi simbol perpisahan, waktu di mana ia menyadari ayahnya tak akan kembali.

Baca juga:

3. Catatan harian dokter

Dr. Michihiko Hachiya, direktur Rumah Sakit Komunikasi Hiroshima, terluka akibat ledakan bom atom. Namun, ia tetap menjalankan tugasnya merawat para korban di tengah kekacauan.

Dikutip dari Stanford Edu, di sela-sela kondisi yang kacau, ia mencatat pengalamannya secara harian sejak hari ledakan hingga minggu-minggu berikutnya.

Catatan ini kemudian diterbitkan dalam buku berjudul Hiroshima Diary.

Baca juga:

Buku harian ini menjadi kesaksian medis dan emosional yang langka, menggambarkan secara langsung penderitaan warga sipil, keterbatasan fasilitas kesehatan, dan kehancuran total setelah ledakan.

Diterbitkan pertama kali pada 1955 oleh UNC Press, karya ini dibantu oleh Dr. Warner Wells dari University of North Carolina, sahabat dan kolega Hachiya dalam penelitian korban bom atom.

Meski kondisi fisik dan mentalnya terpukul, Hachiya tetap menulis setiap hari, memberikan dunia pandangan mendalam tentang sisi manusiawi dari tragedi nuklir.

Hiroshima Diary kini diakui sebagai salah satu dokumen paling penting dari dalam zona ledakan, bukan hanya karena informasi medisnya, tetapi karena empati dan keteguhan yang tercermin di dalamnya.

Baca juga:

4. Sadako dan seribu origami burung bangau

Dilansir dari The Elders (27/7/2025), Sadako Sasaki baru berusia dua tahun ketika bom atom dijatuhkan di Hiroshima, hanya dua kilometer dari tempat ia berada.

Meski selamat tanpa luka luar, dampak radiasi membayanginya selama bertahun-tahun.

Sadako tumbuh sebagai gadis ceria hingga suatu hari di kelas tujuh, ia jatuh sakit setelah lomba sekolah.

Diagnosis dokter di Rumah Sakit Palang Merah mengejutkan, Sadako menderita leukemia, penyakit yang saat itu dikenal sebagai “penyakit bom atom”.

Dalam masa perawatan, sahabatnya, Chizuko datang membawa selembar kertas origami dan harapan. Legenda Jepang menyebutkan, siapa pun yang melipat 1.000 burung bangau kertas akan memperoleh kesembuhan.

Baca juga:

Sadako mulai melipat, satu demi satu, meski tubuhnya melemah.

Hingga akhir hayatnya pada Oktober 1955, ia tak pernah berhenti berharap dan menyemai semangat di tengah rasa sakitnya.

Kisah Sadako menggerakkan teman-teman sekelasnya untuk membangun monumen perdamaian bagi anak-anak korban bom atom.

Dukungan dari ribuan sekolah dan negara asing membuat patung Sadako berdiri megah di Taman Perdamaian Hiroshima pada 5 Mei 1958.

Hingga kini, ribuan burung bangau kertas dari anak-anak seluruh dunia terus dikirimkan—melanjutkan warisan harapan dan perdamaian yang dilipat oleh tangan mungil Sadako.

Baca juga:

5. Mengenali anak dengan pakaian atau sandal

Menurut laporan di laman International Campaign to Abolish Nuclear Weapons (ICANW), banyak anak terutama pelajar meninggal akibat luka bakar parah dampak dari ledakan atom.

Dalam banyak kasus, kondisi jenazah begitu parah sehingga orangtua tidak bisa mengenali wajah atau tubuh anaknya sama sekali.

Salah satu kisah yang dirujuk dalam kesaksian menyebutkan, seorang gadis 13 tahun yang kulitnya terbakar parah dan orangtuanya tak bisa mengenalinya secara fisik, hanya bisa melakukan identifikasi melalui sisa-sisa pakaian yang dikenakannya.

Satu-satunya cara mengenali anak mereka adalah melalui potongan kain kimono atau sandal.

Beberapa kasus mengungkapkan, orangtua yang mengenali anak mereka dari warna tali pinggang atau motif pakaian, yang menjadi identifikasi terakhir dalam puing-puing kehancuran.

Baca juga:

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita EDA WEB WhatsApp Channel : . Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Sumber : Kompas