
, EDA WEB – Pemerintah dan pelaku industri menegaskan komitmen untuk melanjutkan hilirisasi meski menghadapi tekanan dari luar negeri. Kampanye negatif terhadap industri nikel Indonesia seperti tudingan “dirty nickel”, gugatan Uni Eropa ke WTO, serta pemberlakuan tarif oleh Amerika Serikat dinilai tidak adil dan mengarah pada persaingan dagang global.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang Indonesia (APNI) Meidy Katrin Lengkey mengatakan, dominasi Indonesia dalam pasar global membuat sejumlah negara khawatir. Saat ini, Indonesia menguasai lebih dari 60 persen pangsa produksi nikel dunia.
“Banyak negara khawatir ketika kita menguasai bahan baku penting untuk energi masa depan, termasuk baterai mobil listrik. Saya kira nikel ini terlalu over success,” ujar Meidy dalam keterangan tertulis, Kamis (15/5/2025).
Meidy meminta agar manfaat industri nikel juga dilihat secara adil. Ia menyebutkan, kehadiran industri ini turut mendongkrak pendapatan daerah dan menyerap tenaga kerja di daerah-daerah seperti Sulawesi dan Maluku Utara. Selain itu, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari nikel juga meningkat berkat royalti.
APNI juga disebut telah mendorong anggotanya menerapkan prinsip industri hijau, antara lain dengan penggunaan teknologi kendaraan listrik (EV) untuk truk dan alat berat. “Kami juga bekerja sama dengan para ahli untuk mengurangi dampak pencemaran air terhadap masyarakat dan pertanian,” kata Meidy.
Di sisi lain, APNI juga telah berdialog dengan sejumlah produsen mobil listrik dunia seperti Tesla, Mercedes, dan BMW untuk menjelaskan kondisi rantai pasok nikel Indonesia. “Mereka paham bahwa kondisi Indonesia tidak bisa disamakan dengan negara lain. Jadi jangan dipaksa ikut standar Eropa,” ucap Meidy.
Saat ini terdapat 95 smelter nikel yang sudah beroperasi, dan diproyeksikan menjadi 145 smelter. Namun, APNI sejak dua tahun lalu sudah meminta pemerintah menghentikan investasi baru karena cadangan nikel nasional tidak cukup. Bahkan beberapa smelter telah mengimpor nikel dari Filipina.
Perang Dagang
Sementara itu, Pengamat Hukum Energi dan Pertambangan Universitas Tarumanegara Ahmad Redi menilai serangan terhadap Indonesia merupakan bagian dari perang dagang.
“Larangan ekspor nikel oleh Indonesia memang mengubah peta perdagangan global, dan ini merugikan negara-negara yang selama ini menikmati bijih nikel murah dari kita,” kata Redi.
Sebagai catatan, pada 2019 Indonesia mengekspor 30 juta ton bijih nikel, sebelum akhirnya menghentikan ekspor pada 202
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita EDA WEB WhatsApp Channel : . Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.
Sumber : Kompas