Generasi Gali Lubang Tutup Lubang: Memutus Rantai Utang

  
Generasi Gali Lubang Tutup Lubang: Memutus Rantai Utang

SEBUT saja Andi (25), seorang mahasiswa yang bekerja sambil kuliah, menatap dan memegang HP-nya erat-erat, notifikasi tagihan paylater di layar terus muncul.

Pilihannya sederhana tapi kejam: membeli makan siang atau membayar cicilan?

Di negeri yang gemar membanggakan “bonus demografi”, generasi muda seperti Andi justru terjebak dalam spiral utang demi bertahan hidup.

Ini bukan cerita satu-dua orang. Ini adalah cermin retaknya ekonomi generasi muda Indonesia.
Mereka yang seharusnya menjadi motor penggerak ekonomi, justru menjadi “generasi tumbal” akibat ketimpangan sistemik yang terjadi.

Bonus demografi yang kita gembar-gemborkan tak akan berarti jika negara membiarkan anak mudanya menjadi pekerja upahan yang hidup dari gali lubang tutup lubang.

Data Dana Pihak Ketiga (DPK) perbankan per Mei 2024 menunjukkan angka Rp 8.699 triliun. Namun, jangan cepat terbuai. Tabungan perorangan stagnan. Rasio tabungan masyarakat jatuh ke 14,1 persen (Juni 2025).

Baca juga:

Milton Friedman, ekonom legendaris, mengingatkan bahwa orang hanya bisa menabung jika pendapatannya stabil. Namun di Indonesia, pendapatan tetap tak menjamin kesejahteraan.

Ketika harga-harga melambung, upah minimum tertinggal, dan biaya hidup tak terkendali, utang menjadi satu-satunya opsi bertahan hidup.

Lebih jauh, ini bukan sekadar soal penghasilan yang tak cukup. Di sisi penyerapan tenaga kerja, situasinya juga tidak menggembirakan. Indeks ketersediaan kerja anjlok ke 94,1 pada Juni 2025.

Angkatan kerja bertambah 3,5-4 juta orang per tahun, namun penciptaan lapangan kerja berjalan tertatih-tatih.

Mirisnya, 22-23 persen anak muda Indonesia tergolong NEET (Not in Employment, Education, or Training), angka yang bukan sekadar statistik, melainkan bom waktu sosial yang siap meledak.

Investasi tinggi, lapangan kerja terpinggirkan

Di tengah kesulitan itu, pemerintah sibuk memamerkan angka-angka investasi yang melonjak. Pada Kuartal II 2025, realisasi investasi mencapai Rp 477,7 triliun, naik 2,7 persen dari kuartal sebelumnya. Total semester pertama 2025 sudah menyentuh Rp 942,9 triliun.

Sinyal positif? Di atas kertas, iya. Namun realitasnya, investasi ini tidak otomatis menyelesaikan problem struktural di lapangan.

Baca juga:

Penanaman Modal Asing (PMA) justru turun 6,9 persen secara tahunan. Investor global masih bersikap wait and see, terpengaruh ketidakpastian geopolitik dan arah ekonomi global.

Di sisi domestik, meskipun BKPM melaporkan penciptaan 665.764 lapangan kerja baru, kenyataannya laju penciptaan kerja itu kalah jauh dibanding laju pertumbuhan angkatan kerja.

Sebagian besar pekerjaan baru itu juga masih terpusat di kota-kota besar, memperlebar jurang ketimpangan ekonomi.

Joseph Stiglitz, peraih Nobel Ekonomi, menegaskan bahwa redistribusi pendapatan yang adil hanya bisa dicapai dengan penciptaan kerja yang inklusif.

Sayangnya, investasi yang hanya menguntungkan segelintir elite urban takkan pernah menyelesaikan masalah.

Kita sedang menyaksikan lahirnya “perang kelas generasi muda” — antara mereka yang terhubung ke jaringan modal, dan mereka yang terjebak di sektor informal dengan perlindungan sosial yang nyaris hampa.

Lebih ironis lagi, pemerintah terlalu larut dalam retorika adaptasi digital, sementara realita di lapangan jauh berbeda.

Anak muda disuruh “adaptif”, diminta kreatif menjadi wirausaha, tapi negara gagal menyiapkan ekosistem yang adil bagi mereka untuk memulai usaha.

Regulasi masih tebal birokrasi, akses modal hanya untuk yang “punya koneksi”. Akhirnya, yang terjadi adalah generasi muda yang lelah, frustrasi, dan perlahan patah arang.

Mentalitas tumbal ke generasi penggerak

Sudah waktunya negara berhenti memperlakukan generasi mudanya sebagai “tumbal pertumbuhan ekonomi”. Indonesia butuh lompatan kebijakan radikal, bukan tambal sulam kosmetik.

Pertama, upah layak harus menjadi agenda utama. Ini bukan sekadar angka dalam regulasi, tapi soal martabat manusia.

Kenaikan upah minimum yang realistis, ditambah subsidi langsung untuk kelompok rentan, akan memutus rantai ketergantungan utang.

Baca juga:

Milton Friedman pernah menyatakan bahwa stabilitas pendapatan adalah syarat utama pemulihan daya beli dan tabungan masyarakat. Tanpa itu, kebijakan apapun hanya akan menjadi basa-basi.

Kedua, negara harus menciptakan lapangan kerja “gajah”. Proyek infrastruktur besar tidak boleh hanya menjadi monumen politik, tapi harus menjadi mesin pencetak lapangan kerja massal yang menjangkau wilayah pinggiran.

Stiglitz menegaskan, penciptaan kerja berbasis produktivitas adalah senjata ampuh untuk meredam ketimpangan.

Bukan sekadar proyek jangka pendek, tapi harus mampu memperkuat kapasitas ekonomi jangka panjang.

Ketiga, deregulasi besar-besaran mutlak dilakukan. Pangkas habis-habisan perizinan yang selama ini menjadi tembok bagi pengusaha kecil dan anak muda kreatif.

Jika negara terus berpihak pada segelintir pemain besar, kita akan kehilangan potensi ekonomi yang lahir dari akar rumput.

Keempat, sistem perpajakan progresif harus ditegakkan dengan nyali politik. Golongan super kaya dan korporasi besar wajib membayar lebih untuk membiayai program sosial dan infrastruktur berkualitas.

Pajak digital juga harus diperketat, memastikan platform-platform besar tidak lolos dari kewajiban. Ini adalah soal keadilan, bukan sekadar penerimaan negara.

Kelima, Indonesia harus mempersiapkan generasi mudanya menghadapi revolusi Kecerdasan Buatan (AI).

Diperkirakan, 30 persen pekerjaan di sektor manufaktur dan pertanian akan tergantikan otomatisasi dalam 10-20 tahun ke depan.

Tanpa persiapan, gelombang PHK massal tak terhindarkan. Solusinya adalah revolusi pendidikan.

Literasi digital, problem-solving, dan critical thinking harus menjadi kompetensi dasar yang diajarkan sejak dini. Tidak ada lagi ruang untuk kurikulum yang kaku dan terjebak teori.

Kita bisa memilih jalan aman dengan retorika manis, atau berani mengeksekusi kebijakan radikal yang memberi ruang bagi generasi muda untuk menjadi “para gajah” ekonomi masa depan.

Karena jika tidak, kita sedang memelihara konflik sosial yang tak lama lagi akan meledak di depan mata kita sendiri.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita EDA WEB WhatsApp Channel : . Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Sumber : Kompas