
EDA WEB – Rencana pemerintah melalui Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) untuk memperkecil ukuran menjadi minimal 18 meter persegi di atas lahan 25 meter persegi memicu gelombang kritik, terutama dari kalangan .
Wacana dalam draf Keputusan Menteri PKP Nomor/KPTS/M/2025 yang dianggap sebagai solusi untuk mengatasi backlog perumahan di perkotaan, tetapi justru panen protes karena dianggap tidak layak huni.
Kementerian PKP mengusulkan pengurangan ukuran rumah subsidi dari minimal 21 meter persegi (berdasarkan Keputusan Menteri PUPR Nomor 689/KPTS/M/2023) menjadi 18 meter persegi untuk bangunan dan 25 meter persegi untuk lahan.
Baca juga:
Tujuannya adalah menjawab tingginya harga lahan di perkotaan, khususnya di kawasan metropolitan seperti Jabodetabek, serta memenuhi kebutuhan generasi muda yang ingin tinggal dekat tempat kerja.
Direktur Jenderal Perumahan Perkotaan Kementerian PKP Sri Haryati menegaskan, ini hanyalah opsi tambahan, bukan pengganti regulasi sebelumnya, sehingga masyarakat masih bisa memilih rumah subsidi dengan luas 36 meter persegi.
Dengan backlog perumahan nasional mencapai 9,9 juta unit (80 persen di perkotaan) dan target pembangunan 350.000 unit rumah subsidi pada 2025, pemerintah berupaya mencari solusi terjangkau.
Baca juga:
Namun, banyak pihak, termasuk Gen Z, mempertanyakan kelayakan hunian sekecil 18 meter persegi untuk keluarga kecil secara jangka panjang.
Kritik Gen Z: “ atau Kos-Kosan?”
Gen Z, yang aktif di media sosial seperti X, menyuarakan kekhawatiran mereka melalui cuitan dan meme yang viral.
Beberapa kritik utama yakni ukuran terlalu kecil. Sejumlah Gen Z membandingkan dengan kamar kos eksklusif (15-20 m²), yang dianggap tidak layak untuk keluarga.
Seorang pengguna X menulis, “Type 21 aja ga boleh, ini type 18? Kecil banget. Bukannya rumah subsidi minimal type 36 dua kamar ya? Apa peraturannya berubah?”.
Baca juga:
Lainnya menyebut rumah ini “RSSSS (Rumah Subsidi Sangat Sempit Sekali)” dan lebih mirip kamar kontrakan.
Sementara kritik lainnya menyangkut standar kelayakan huni. Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI) 03-1733-2004, kebutuhan ruang minimal per jiwa adalah 6,4-9 meter persegi, dan Sustainable Development Goals (SDGs) menetapkan standar 7,2 meter persegi per orang.
Untuk keluarga kecil (3-4 orang), rumah 18 meter persegi dinilai tidak manusiawi. Pengamat properti Anton Sitorus menyebut ukuran ini “tidak layak” dan menunjukkan “ketidakpekaan pejabat terhadap rakyat kecil,” bahkan membandingkannya dengan “ruang tunggu sopir” di rumah pejabat.
Adapun kritik terkait anjloknya kualitas hidup datang dari Gen Z yang menilai rumah sekecil ini menyulitkan aktivitas sehari-hari, seperti belajar, makan, atau tidur, apalagi untuk jangka panjang.
Baca juga:
Seorang pengguna X berkomentar, “Bayangkan tinggal di situ, bertahun-tahun, dengan penghuni bisa 3 atau lebih. Ini bukan rumah, ini kandang!”.
Visualisasi rumah 18 meter persegi menunjukkan ruang multifungsi sempit yang hanya cukup untuk ruang keluarga, dapur, dan kamar mandi mini, memicu kekhawatiran tentang kesehatan mental dan fisik penghuni.
Mudah dimafhumi jika Gen Z mengkritik kebijakan ini, sebab merekalah sasaran utama dari wacana perubahan kuran rumah subsidi ultra mikro ini.
Mereka pun menyuarakan kekecewaan melalui X dan platform lain:
Cuitan seperti “Saking kecilnya, sejumlah Gen-Z menganggap desain rumah subsidi 18 meter persegi mirip dengan kamar kontrakan” dari @officialInibaru menjadi viral dalam beberapa hari terakhir, dan mendapatkan ribuan retweet, mencerminkan sentimen negatif.
Baca juga:
Selain itu, banyak Gen Z membagikan meme yang membandingkan rumah 18 meter persegi dengan kontainer atau kandang, dengan hashtag seperti #RumahSubsidiSempit atau #GenZKehidupanKota.
Sementara sejumlah pengguna X menyerukan agar pemerintah mengkaji ulang kebijakan ini, menekankan pentingnya kualitas hidup dan standar SDGs (7,2 m² per orang).
Namun, sebagian Gen Z mendukung ide ini, terutama mereka yang lajang dan ingin hunian terjangkau di kota.
Baca juga:
Mereka melihat rumah 18 meter persegi sebagai “starter home” yang lebih realistis dibandingkan kos-kosan dengan sewa mahal.
Kendari demikian, dengan banyaknya sentimen negatif yang viral di X dan potensi dampak pada kualitas hidup, pemerintah perlu mengkaji ulang desain, melibatkan pemangku kepentingan, dan memastikan hunian tetap manusiawi sesuai SNI dan SDGs.
Untuk mendapatkan informasi akurat, kredibel, dan tepercaya terkait rumah subsidi, Anda bisa mengakses kanal atau .
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita EDA WEB WhatsApp Channel : . Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.
Sumber : Kompas