Hakim MK: Benar Enggak Sih PPDS Seperti Barak Militer?

  
Hakim MK: Benar Enggak Sih PPDS Seperti Barak Militer?

JAKARTA, EDA WEB – Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih mencecar tiga , yakni Piprim Basarah, Zainal Muttaqin, dan Renan Sukmawan, terkait peristiwa perundungan dalam Program Pendidikan (PPDS).

“Saya ingin mendapatkan jawaban yang jujur, karena ini menyangkut soal kesehatan, soal nyawa ya,” kata Enny dalam sidang yang digelar di MK, Jakarta, Kamis (22/5/2025).

Baca juga:

Ketiga dokter itu menjadi saksi dalam perkara nomor 111/PUU-XXIII/2025 uji materi tersebut.

Enny menjelaskan bahwa dia mendapatkan informasi yang cukup banyak terkait dugaan perundungan dalam PPDS, seperti kekerasan fisik dan verbal yang sistemik, serta pungutan yang tidak sesuai.

“Saya ingin mendapatkan kejujurannya selama mengikuti PPDS ini, benar enggak sih sebetulnya di sana itu seperti barak militer, sehingga hubungan antara senior-junior itu begitu kuatnya, seolah-olah gunung es yang tidak bisa diruntuhkan?” tanya Enny.

Baca juga:

“Itu (perundungan) sejauh ini seperti apa, Pak? Karena ini menyangkut pendidikan yang sangat penting, benar nggak itu terjadi?” sambungnya.

Zainal Muttaqin, sebagai dokter spesialis bedah saraf, memastikan bahwa di tempat dia mengajar, yakni di Departemen Bedah Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro (UNDIP), perundungan itu tidak ada.

“Kalau saya bercerita tentang departemen saya sendiri, itu kami bersepakat bahwa pendidikan tidak boleh melakukan hal-hal yang buruk seperti itu. Perundungan adalah perbuatan yang tidak boleh dilakukan siapa pun, itu perbuatan buruk,” ucapnya.

Baca juga:

Walaupun begitu, Zainal masih merasakan adanya tambahan jadwal jaga sebagai hukuman bagi peserta didiknya.

“Bapak enggak boleh bohong ya di sini,” tanya Enny, kemudian mengalihkan pertanyaan kepada Piprim Basarah Yanuarso.

Baca juga:

anak ini mengatakan bahwa ada dua jenis perundungan yang bisa dilihat, misalnya perundungan yang nyata dan perundungan karena beban pekerjaan.

“Kalau sesungguhnya, misalnya peserta didik disuruh membayari tagihan apa gitu,” kata Piprim.

“Yang saya pernah tahu itu, misalnya disuruh melengkapi pembelian mebel, kemudian penggantian ban mobil seperti itu,” tanya Hakim Enny.

Baca juga:

“Itu true bullying, Yang Mulia, dan itu tidak terjadi di sepanjang saya mengalami pendidikan di RSCM, tidak pernah adanya yang namanya seperti itu,” kata Piprim.

Hal yang pernah diterima Piprim adalah beban tambahan pekerjaan untuk kepentingan pasien, seperti mengecek secara mendetail terkait kondisi pasiennya.

“Maka beban seperti itu memang biasa kita tanggung sehari-hari, Yang Mulia. Dan itu bukan bullying, itu risiko dari kami menempuh pendidikan spesialis,” ujarnya.

Terakhir adalah Renan Sukmawan, dokter jantung di Rumah Sakit Harapan Kita, yang mengatakan bahwa ruang belajar yang ada di tempat dia mengajar bersih dari perundungan.

Baca juga:

Bahkan, di RS Harapan Kita, tempat dia mengajar, mahasiswa PPDS diberikan honorarium oleh pihak manajemen.

“Jadi, sehingga kesejahteraannya lebih baik dan hal-hal seperti tadi harus mengeluarkan uang tidak ada,” katanya.

“Ada hal-hal yang misalnya kalau senior memiliki jatah jaga lebih sedikit dari jatah junior, saya minta mereka membuat email kaleng ke saya, anonim. Dan ketika misal terjadi distribusi jaga, maka saya turun,” tandas Renan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita EDA WEB WhatsApp Channel : . Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Sumber : Kompas