EDA WEB – Reformasi 1998 menandai babak baru dalam sejarah Indonesia, termasuk dalam kehidupan pers. Setelah bertahun-tahun berada di bawah bayang-bayang kekuasaan Orde Baru, pers Indonesia memasuki era kebebasan yang lebih luas.
Perubahan ini bukan hanya soal terciptanya kebebasan berekspresi, tetapi juga terkait regulasi yang lebih demokratis. Pemerintahan BJ Habibie yang dilantik sejak 21 Mei 1998 telah melahirkan rangkaian kebijakan untuk mendukung tuntutan reformasi tersebut.
Salah satu adalah mengurangi sejumlah peraturan yang mengekang kehidupan pers di Indonesia. Puncaknya, keluar No. 40 Tahun 1999 yang merupakan titik balik bagi kehidupan pers di Indonesia pasca Reformasi 1998.
Oleh karenanya, pengunduran diri Soeharto tak hanya menjadi , melainkan juga pertanda baik bagi jurnalisme tanah air.
Bagaimana perubahan ini terjadi pasca ?
Baca juga:
Transformasi Kebebasan Pers
Pada masa Orde Baru, pers Indonesia tunduk pada pengawasan ketat pemerintah. Regulasi seperti Permenpen No. 01/Per/Menpen/1984 menjadi alat legitimasi untuk melakukan pembredelan media.
Kebijakan tersebut berdampak pada penutupan beberapa media. Selain itu, intervensi pemerintah dalam bentuk regulasi, subsidi, hingga perpajakan mengekang independensi pers.
Bahkan, informasi yang disajikan media harus melalui saringan ketat dari pihak berwenang. Namun, mundurnya Soeharto dari kursi kepresidenan membuka jalan bagi perubahan besar.
Pemerintahan BJ Habibie mencabut berbagai regulasi yang selama ini menghambat kebebasan pers, seperti Permenpen No. 01/Per/Menpen/1984 tentang ketentuan-ketentuan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP).
Baca juga:
Pada saat yang sama, empat Surat Keputusan Menteri Penerangan yang membatasi organisasi pers dan percetakan juga dicabut, seperti SK Menpen No. 274 A tentang Prosedur dan Persyaratan untuk mendapatkan SIUUP dan SK Menpen No 47 /Kep/Men/7975 tentang PWI dan SPS sebagai satu-satunya organisasi wartawan dan organisasi penerbit pers Indonesia.
Pemerintah lantas mengeluarkan dua Permenpen dan dua SK Menpen baru. Kebijakan itu tak lagi mencantumkan sanksi pencabutan SIUPP dan pembredelan pers yang selama masa Orde Baru digunakan untuk membungkam jurnalisme.
Kebijakan terkait pers pasca Reformasi 1998 ini telah berdampak positif bagi kehidupan pers. Dalam satu tahun setelah Reformasi 1998, jumlah SIUPP yang diterbitkan melonjak drastis dari 321 menjadi lebih dari 1.500 SIUP.
Baca juga:
Lahirnya Undang-Undang Pers
Tonggak penting dalam 1998 adalah disahkannya Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. UU ini menggantikan UU No. 21 Tahun 1984 yang dianggap tidak relevan dengan semangat demokrasi.
Dalam UU Pers yang baru, beberapa poin utama menjadi sorotan, seperti penghapusan penyensoran, pembredelan, dan pelarangan penyiaran. Pasal 4 ayat (1) dengan tegas menyatakan bahwa kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara.
Baca juga:
UU ini juga memberikan otonomi penuh kepada pers nasional untuk mencari, memperoleh, dan menyebarkan informasi tanpa campur tangan pemerintah.
Bahkan, peran Dewan Pers didefinisikan ulang untuk meningkatkan standar profesionalisme wartawan tanpa menjadi penghambat bagi munculnya jurnalis baru.
Kebijakan ini mencerminkan niat bersama antara pemerintah dan fraksi-fraksi di DPR untuk menciptakan lingkungan pers yang sehat dan independen.
Refrensi:
- Susilastuti DN, (2000), “Kebebasan Pers Pasca Orde Baru”, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 4(2), 221-242.
- Reyhan Ainun Yafi, (2023), “Kebijakan Historis BJ Habibie Berdampak Transformasi Menuju Demokrasi”, Jurnal Paradigma, Vol. 4(2), 64-73.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita EDA WEB WhatsApp Channel : . Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.
Sumber : Kompas