Lagu Lokal di Kafe: Salah atau Berkah?

  
Lagu Lokal di Kafe: Salah atau Berkah?

DI SUDUT-sudut kota, dari kawasan Pantai Indah Kapuk, Jakarta, hingga Braga, Bandung, dari coffee shop independen hingga jaringan besar, musik mengalun menjadi bagian dari suasana.

Tak jarang lagu-lagu Indonesia turut menghiasi ruang-ruang itu—baik yang lawas maupun rilisan baru dari musisi indie.

Namun, di balik kenyamanan suasana tersebut, terselip kontroversi: apakah kafe yang memutar lagu Indonesia telah melanggar hak cipta, atau justru sedang membantu mempromosikannya?

Musik media promosi: Bukan sekadar produk konsumsi

Musik hari ini bukan hanya karya seni, melainkan juga konten yang bersaing dalam ekonomi atensi. Semakin sering lagu terdengar, semakin besar peluangnya untuk viral.

Dalam konteks ini, kafe dan ruang publik lainnya menjadi simpul penting dalam rantai penyebaran musik. Mereka menciptakan pengalaman emosional yang melekat pada memori pendengar—suasana minum kopi sore hari bisa selalu diingat karena diiringi lagu tertentu.

Baca juga:

Fenomena ini sejalan dengan diffusion of innovations theory yang dikembangkan oleh Everett Rogers (2003), yang menjelaskan bagaimana suatu inovasi atau produk baru diadopsi oleh masyarakat melalui jaringan sosial.

Pemutaran lagu di kafe dapat dilihat sebagai tahap awal penyebaran—layaknya seorang early adopter dalam sistem inovasi. Lagu yang diputar di ruang publik menjadi percikan pertama sebelum menyebar luas ke media sosial, playlist digital, hingga festival musik.

Bahkan, dari kacamata pemasaran, pemutaran lagu di kafe adalah bentuk promosi pasif yang berdampak besar.

Lagu yang catchy bisa memicu pencarian oleh konsumen, mengarahkan mereka ke platform resmi, dan memunculkan eksposur berulang.

Ini dikenal sebagai promotional effect, di mana kafe secara tidak langsung memasarkan lagu tersebut tanpa bayaran, tetapi berdampak nyata terhadap popularitas.

Konsep ini mengakar pada teori co-creation of value yang dikemukakan oleh Prahalad dan Ramaswamy (2004), yang menyebut bahwa nilai tidak hanya diciptakan oleh produsen (dalam hal ini musisi atau label), tetapi juga oleh pengguna atau komunitas.

menciptakan konteks, suasana, dan pengalaman emosional yang menjadikan lagu relevan dengan gaya hidup pendengarnya.

Melihat lebih jauh, fenomena ini juga bisa dijelaskan melalui pendekatan baru dalam ekonomi budaya, yakni konsep ekonomi kreatif dan cultural commons.

Dalam kerangka ekonomi kreatif, pemanfaatan karya seni seperti lagu tidak semata-mata merupakan konsumsi, tetapi bagian dari perputaran nilai dalam ekosistem kreatif.

UNESCO (2021) menyebut bahwa nilai dari karya kreatif tidak selalu bersumber dari transaksi moneter langsung, tetapi juga dari spillover effect seperti peningkatan eksposur, apresiasi, dan distribusi budaya di ruang publik.

Sementara itu, teori cultural commons (Bertacchini & Saccone, 2018) menawarkan sudut pandang bahwa karya budaya populer yang telah menyatu dengan kehidupan masyarakat dapat diperlakukan sebagai common-pool resources—yakni sumber daya yang dinikmati bersama, tetapi tetap membutuhkan tata kelola yang adil.

Baca juga:

Lagu-lagu Indonesia yang diputar di kafe, dalam banyak kasus, telah menjadi bagian dari konsumsi sosial kolektif, bahkan menjadi identitas kultural generasi tertentu.

Oleh karena itu, penyelesaian konflik terkait pemutarannya tidak cukup dengan pendekatan legal-formal, tetapi memerlukan co-governance model yang memungkinkan distribusi nilai secara kolaboratif.

Jika hanya mengandalkan pendekatan hukum yang kaku, kafe bisa enggan memutar lagu lokal dan malah beralih ke musik asing yang sudah memiliki lisensi internasional yang lebih fleksibel.

Padahal, justru di ruang-ruang seperti kafe itulah musik Indonesia bisa hidup dan berkembang. Maka dibutuhkan tata kelola kreatif, seperti skema lisensi mikro untuk kafe kecil dan menengah, serta kolaborasi kurasi antara musisi dan pelaku usaha.

Harmoni dan solusi jalan tengah

Konflik ini tidak harus diakhiri dengan sanksi atau saling menyalahkan. Kita bisa memilih “lantai damai”—yakni pendekatan kolaboratif yang saling menguntungkan.

Skema win-win bisa dirancang melalui kerja sama strategis antara pemilik hak cipta, lembaga manajemen kolektif, dan komunitas kafe.

Pendekatan ini sesuai dengan Collaborative Advantage Theory (Kanter, 1994), yang menyatakan bahwa kerja sama lintas sektor akan menghasilkan nilai tambah lebih besar dibandingkan jika masing-masing pihak bekerja sendiri.

Apalagi di era digital dan pasca-pandemi, ketika banyak musisi dan pelaku usaha kreatif sedang berjuang pulih dan mencari ruang baru untuk bertumbuh.

Baca juga:

Kini, pertanyaannya bukan lagi sekadar “siapa yang salah?”, tetapi “bagaimana semua pihak bisa bersama-sama membesarkan musik Indonesia di ruang-ruang publik yang makin inklusif dan kreatif?”

Kita perlu menggeser paradigma dari “melanggar” menjadi “bermitra.” Mengembangkan ekosistem musik Indonesia bukan hanya soal perlindungan, tetapi juga tentang distribusi dan eksposur.

Kafe adalah ruang distribusi budaya. Mereka menyuguhkan pengalaman, membangun kenangan, dan menciptakan asosiasi emosional terhadap musik.

Pemerintah, asosiasi kafe, dan LMK bisa duduk bersama untuk merancang skema lisensi yang adil, sederhana, dan transparan—terutama untuk usaha mikro dan kecil.

Perlu juga ada ruang edukasi agar pelaku usaha paham bahwa mereka bukan sekadar konsumen musik, tetapi bagian dari ekosistem budaya bangsa.

Pertanyaannya bukan lagi: “Apakah kafe melanggar?” melainkan: “Bagaimana kafe dan musisi bisa bersinergi membesarkan musik Indonesia?”

Jika kita menjawab pertanyaan ini dengan kepala dingin dan hati terbuka, maka musik Indonesia akan lebih mudah menemukan rumahnya—di telinga, di hati, dan di ruang-ruang publik yang penuh harmoni.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita EDA WEB WhatsApp Channel : . Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Sumber : Kompas