
JAKARTA, EDA WEB – Kepolisian Daerah Polda Metro Jaya sedang menggelar 2025.
Berlangsung selama 15 hari, sejak 9 Mei 2025, polisi dikerahkan guna menyisir titik-titik rawan aksi premanisme di wilayah Jakarta dan sekitarnya.
Hasilnya, seribuan preman ditangkap hanya dalam sepekan pertama.
Preman-preman itu tak selalu tampil dengan wajah garang. Banyak di antaranya menyamar sebagai tukang parkir, “Pak Ogah”, hingga debt collector.
Baca juga:
Namun di balik itu, mereka menebar ancaman, kekerasan, dan pemerasan.
Modus lama, wajah baru
Di Pelabuhan Tanjung Priok, tujuh pria ditangkap karena menyamar sebagai Pak Ogah dan meminta pungutan liar di jalanan.
“Pungutan liar ini yang biasa kita lihat di sepanjang Jalan Yos Sudarso hingga Marunda,” kata AKP I Gusti Ngurah Putu Krishna Narayana, Kasat Reskrim Polres Pelabuhan Tanjung Priok.
Di Kalideres, kelompok bernama “Anak Asmoro” memeras sopir truk dengan dalih jasa pengawalan.
Mereka meminta uang agar sopir tak diganggu oleh “preman lain” sepanjang jalan—yang sebenarnya mereka sendiri.
Baca juga:
Jika ditolak, sopir diancam dengan senjata tajam. Dari Rp 200.000, mereka bersedia turun hingga Rp 100.000, asal dibayar.
Di Jakarta Pusat, sembilan juru parkir liar juga ditangkap karena mematok tarif semaunya di Thamrin City dan kawasan Monas.
“Sopir-sopir yang parkir di sekitar Thamrin City dipatok oleh juru parkir ilegal di atas Rp 20.000,” ungkap AKBP Muhammad Firdaus, Kasat Reskrim Polres Metro Jakarta Pusat.
Sementara itu, di Bekasi, lima anggota “mata elang” merampas mobil seorang mahasiswa dan menyerahkannya ke leasing demi upah puluhan juta rupiah.
“Pelaku mendapat fee sebesar Rp 24 juta,” ujar Kapolres Metro Bekasi Kota Kombes Pol Wahyu Kusumo Bintoro.
Baca juga:
Benarkah premanisme bisa diberantas total?
Tindakan tegas kepolisian ini tentu mendapat apresiasi. Namun pertanyaannya, apakah premanisme bisa benar-benar punah?
Sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM), A.B. Widyanta, justru pesimistis. Ia melihat sebagai siklus musiman yang berulang dan seringkali tak menyentuh akar masalah.
“Sering kali itu menjadi lagu lama, sekadar menyenangkan masyarakat bahwa seolah-olah itu sudah menjadi konsen pemerintah untuk menanganinya,” kata Widyanta.
Menurutnya, penegakan hukum di Indonesia tak pernah benar-benar tuntas. Sistem peradilan kerap melindungi mereka yang punya kuasa, sementara masyarakat kecil yang justru dikorbankan.
“Hukum selalu menumbalkan masyarakat kecil, tetapi melindungi mereka-mereka yang kaya, yang mampu membayar, yang mampu membeli peradilan itu,” lanjutnya.
Baca juga:
Pertarungan elite, premanisme tak pernah mati
Widyanta juga menyoroti tumpang tindih peran aparat keamanan yang kerap membuat penanganan premanisme tak konsisten.
Ia menyebutnya sebagai “panggung teater” yang terus diputar ulang.
“Ini lagi-lagi soal pertarungan elit yang tidak akan pernah selesai, yang hanya menjadi semacam panggung teater dan ini adalah wajah buram yang semakin compang-camping dari aparatur negara kita,” ucapnya.
Widyanta bahkan menyebut hubungan antara preman dan aparat kerap kali ambigu. Di satu sisi dianggap musuh, di sisi lain bisa jadi teman.
“Relasi mereka itu sendiri seperti foe and friend. Foe itu musuh, friend itu teman,” kata Widyanta.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita EDA WEB WhatsApp Channel : . Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.
Sumber : Kompas