
, EDA WEB – Menteri Usaha Mikro, Kecil dan Menengah () Maman Abdurrahman mengatakan, pemberian sanksi pidana untuk pelaku UMKM bertentangan dengan kebijakan hukum nasional.
Sehingga dalam konteks kasus Toko , ia menyebut sanksi administratif lebih tepat diberikan.
Terlebih jika pelaku UMKM memiliki itikad baik selama proses penanganan kasus.
“Sanksi administratif lebih tepat untuk UMKM. Menjatuhkan pidana kepada pelaku UMKM yang beritikat baik, bertentangan dengan kebijakan hukum nasional,” ujar Maman dalam rapat dengan Komisi III DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, yang disiarkan secara daring, Kamis (15/5/2025).
“Pelanggaran pelabelan pangan berisiko rendah atau sedang sebaiknya diselesaikan dengan sanksi administratif, bukan pidana,” tegasnya.
Menurutnya, prinsip ultimum remedium di mana penindakan pidana menjadi pilihan terakhir dalam setiap proses menegakkan hukum dalam kasus yang menimpa usaha mikro harus dikedepankan.
Di sisi lain, Maman menekankan adanya keadilan substantif demi kelangsungan UMKM dan ekonomi nasional.
Sementara itu, dari sisi tata negara, menurut Maman sejumlah aturan sudah menunjukkan keberpihakan negara kepada UMKM.
Misalnya pada UUD 1945, Undang-Undang (UU) Pangan nomor 18 tahun 2012 dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 7 Tahun 2021.
“Kita tidak bisa hanya sekedar melihat usaha mikro, kecil sama seperti usaha besar dan usaha menengah. Treatment-nya sangat berbeda. Karena usaha mikro, rata-rata mereka-mereka yang jauh dari sistem pendidikan,” katanya.
“Mereka yang tidak paham dengan ilmu hukum. Mereka yang mungkin jauh sekali dari pemahaman tentang laporan keuangan. Maka dari itu pemerintah hadir dalam sebuah bentuk affirmative action,” tambah politisi Golkar itu.
Diberitakan sebelumnya, masalah hukum yang dihadapi pemilik toko produk UMKM di Kota Banjarbaru, Kalimantan Selatan (Kalsel) Firly Norachim menjadi perhatian luas publik.
Kasus bermula saat toko milik Firly dilaporkan oleh salah konsumen ke Polda Kalsel pada 6 Desember 2024.
Sebab terdapat produk yang tidak dicantumkan label kadaluarsa.
Laporan itu kemudian ditindaklanjuti oleh petugas dengan memanggil Firly selaku owner.
Setelah melalukan penyelidikan, penyidik dari Direktorat Kriminal Khusus (Ditkirmsus) Polda Kalsel menyita 35 produk untuk dijadikan barang bukti.
Temuan produk yang tidak mencantumkan tanggal kadaluarsa, membuat penyidik menahan Firly selaku pemilik.
Tak lama kemudian, kasus Firly akhirnya dilimpahkan ke kejaksaan dan kini tengah berproses di pengadilan.
Ia didakwa melanggar Pasal 62 ayat (1) jo Pasal 8 ayat (1) huruf g dan i UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita EDA WEB WhatsApp Channel : . Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.
Sumber : Kompas