
EDA WEB – Wacana pemerintah untuk menyempitkan luas menjadi 18 meter persegi di perkotaan menuai reaksi keras dari Ikatan Arsitek Indonesia ().
Kebijakan yang tertuang dalam draf Keputusan Menteri (Kepmen) PKP Nomor/KPTS/M/2025 ini, meskipun bertujuan memperluas akses Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) terhadap hunian layak di tengah keterbatasan lahan, justru memunculkan pertanyaan fundamental terkait kelayakan huni dan implikasi sosialnya.
Di sisi lain, Lippo Group, salah satu raksasa properti Tanah Air, telah memamerkan mock up hunian yang lebih ekstrem lagi, yaitu seluas 14 meter persegi.
Baca juga:
Ukuran yang super mini ini sontak menjadi perdebatan hangat di kalangan masyarakat dan praktisi arsitektur.
Ketua Umum IAI Georgius Budi Yulianto, atau yang akrab disapa Boegar, menegaskan bahwa secara teknis, ukuran sekecil itu memang memungkinkan untuk fungsi dasar tempat berteduh. Namun, permasalahannya jauh lebih kompleks.
“Jika dibandingkan dengan standar kebutuhan ruang gerak minimal manusia di lingkungan perkotaan yang berkisar 9 meter persegi per individu, maka kapasitas ruang ini menjadi sangat terbatas. Ini terlebih jika dihuni lebih dari satu orang,” ungkap Boegar kepada EDA WEB, Sabtu (14/6/2025).
Menurutnya, kondisi ini membuat rumah tidak lagi menjadi tempat untuk tumbuh dan berkembang, melainkan hanya menjadi tempat “bertahan hidup”.
Baca juga:
Bayangkan, bagaimana sebuah keluarga dengan anak-anak atau lansia dapat beraktivitas dan berinteraksi secara sehat dalam ruang yang begitu sempit?
Ancaman Konflik Sosial dan Kemiskinan Ruang
Implikasi dari hunian ultra-mikro ini tidak hanya terbatas pada kenyamanan individu, tetapi juga berpotensi besar menurunkan kualitas interaksi sosial dalam rumah tangga, bahkan meluas ke lingkungan sekitar.
“Ketegangan dalam ruang terbatas cenderung menumpuk, tanpa ada ruang pelampiasan yang sehat, menciptakan situasi kohesi sosial yang rapuh dan bahkan agresif,” tambah Boegar.
Interaksi antar-penghuni rumah bisa berubah menjadi konflik laten, sebuah bom waktu yang siap meledak kapan saja.
Baca juga:
Dari sisi perencanaan kota dan arsitektur, Boegar menilai rumah-rumah dengan luasan ultra-mikro seperti ini justru menciptakan tekanan jangka panjang pada ekosistem sosial perkotaan.
“Alih-alih mengentaskan masalah keterjangkauan, pendekatan ini bisa menjerumuskan penghuni ke dalam siklus kemiskinan baru yaitu kemiskinan ruang dan kualitas hidup,” tegasnya.
Padahal, rumah seharusnya menjadi alat pemberdayaan sosial, bukan sekadar bangunan fisik murah yang hanya berfungsi sebagai tempat berlindung sementara.
Baca juga:
Wacana ini memantik diskusi penting tentang bagaimana pemerintah menyeimbangkan antara ketersediaan hunian terjangkau dan standar kelayakan hidup yang layak bagi warganya.
Apakah Indonesia siap dengan “rumah masa depan” berukuran super mungil ini? Dan apa dampaknya bagi kualitas hidup masyarakat perkotaan?
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita EDA WEB WhatsApp Channel : . Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.
Sumber : Kompas